Genmuda – Tau gak, generasi milenial kelas menengah di seluruh dunia sedang terancam sama fenomena ‘Affluenza’. Bahayanya lagi, efek negatifnya sering kita gak sadari.
“Eh Genmuda.com, emang apa sih Affluenza itu?”
Buat lo yang belum paham, kata ‘affluenza’ pertama kali muncul dalam sejarah pada salah satu artikel MAP di tahun 1908 muncul pada James Douglas yang berjudul “Things I Think About”. Namun belakangan, istilah ini kembali happening setelah di tahun 2013, ada seorang anak konglemerat kaya asal Texas, Amerika Serikat bernama Ethan Couch dengan arogannya telah menewaskan 4 orang karena ulahnya berkendara dalam keadaan mabuk. Topik ini kembali rame setelah Ethan Couch dibebaskan pada tanggal 2 April 2018 lalu setelah menjalani 2 tahun masa tahanan.
Setelah mendalami kasus ini, beberapa pendukung teori affluenza setuju bahwa orang-orang yang menderita affluenza punya pemikiran bahwa uang dapat membeli kebahagiaan. Mereka juga sering punya masalah dalam masyarakat normal seperti susah membedakan antara benar dan salah, hingga berkurangnya empati seiring meningkatnya arogansi.
Seperti diungkapkan oleh berbagai studi bahwa pada 2020, Indonesia akan digerakan oleh para generasi milenial dengan perpaduan masyarakat kelas menengah dan masyarakat urban. The Boston Consulting Group (BCG) menyebutkan di tahun 2012 jumlah MAC (middle-class and affluent consumers) di Indonesia berjumlah 74 juta jiwa, dan diprediksi bakal terus meningkat hingga 141 juta jiwa di tahun 2020 nanti.
Nah, gejala seperti inilah yang terdapat pada generasi milenial kelas menengah di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Apa ciri-ciri gejala ‘affluenza’?
Beberapa gejala affluenza diantaranya adalah perasaan depresi akan citra diri yang terkait langsung dengan status keuangan. Salah satu yang paling familiar tuh ‘berlomba-lomba’ buat meningkatkan citra diri lewat unduhan foto di sosial media atau bisa dibilang kayak panjat sosial.
“Berbagai asumsi bermunculan dari pola gaya hidup milenial, salah satunya adalah kemungkinan bahwa mereka sulit untuk memiliki rumah karena tingkat konsumsi yang berlebihan untuk sekedar meningkatkan citra diri. Oleh karena itu, penting bagi para wealth advisor untuk memiliki kemampuan psikologi pengelolaan kekayaan atau the psychology of wealth,” ujar FX Iwan sebagai Independent Wealth Management Advisor dalam rilis yang diterima Genmuda.com, Kamis (5/4).
Santai.. ini tips untuk menghindari Affluenza
1. Tetapkan batas pengeluaran
Namanya manusia pasti bakal konsumtif kalo gak ‘direm’. Kebebasan Finansial (Financial Freedom) pada dasarnya adalah memiliki pendapatan pasif (passive income) yang terus mengalir tanpa dipengaruhi oleh kondisi pendapatan dari hasil bekerja seseorang. Ada dua variabel yang dapat di sesuaikan untuk mencapai kebebasan finansial yaitu meningkatkan pendapatan pasif dan mengurangi pengeluaran.
2. Jangan biasain ‘Shortcut’
Banyak penelitian yang mengatakan bahwa milenial adalah generasi ‘impulse buying’ yang menyebabkan banyak dari mereka susah mengendalikan keinginan untuk menunggu waktu dalam mendapatkan sesuatu. Sehingga berhutang bisa dijadikan sebagai jalan pintas atau shortcut dibandingkan mengumpulkan uang.
Masalahnya, kebiasaan ini bisa jadi bumerang kalo mereka gak bisa membayar hutang. FYI, hutang adalah salah satu gejala yang paling yang paling banyak ditemui dari affluenza.
3. Buat Smart Shopper
Dengan bantuan teknologi, berbagai aplikasi untuk mengatur keuangan telah banyak tersedia. Salah satunya adalah ragam aplikasi smart shopping.
Jenis aplikasi ini bisa membantu lo dalam memaksimalkan pengeluaran sesuai dengan kebutuhan. Kalo bingung coba baca artikel ini.
4. Mulailah Berinvestasi – Meski jumlahnya kecil
Terakhir kunci dari kebebasan finansial (financial freedom) adalah dengan memiliki pendapatan pasif yang salah satunya dapat dicapai melalui investasi.
Kalo kurang paham soal investasi, coba dengan menjadi investor konservatif dengan toleransi risiko rendah. Ini bisa jadi alternatif cara untuk membuat uang berkembang, sementara itu lo juga bisa belajar lebih banyak tentang investasi.
“Mintalah penasihat investasi yang ada di bank Anda untuk memberikan saran dalam proses pembelajaran ini. Walaupun dalam jumlah yang kecil, namun kita telah belajar untuk mengembangkan dana yang kita miliki agar lebih produktif,” tutup Iwan. (sds)