Genmuda – Demi sebuah tugas negara seorang prajurit TNI harus rela meninggalkan keluarganya dengan waktu yang cukup lama. Penempatan tak menentu hingga nyawa yang menjadi taruhan udah jadi konsekuensi yang harus diterima.
Kekhawatiran itu pun nyaris dirasakan oleh semua istri anggota TNI dan tertuang dalam film “Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negeri” yang tayang mulai hari ini, Kamis (5/4) di bioskop. Cerita para istri TNI itulah yang sekaligus menjadi benang merah film pertama garapan Ray Nayoan. Penasaran seperti apa filmnya? Simak dulu aja review Genmuda.com kali ini.
Kisah seorang Jelita Sejuba
Berdasarkan keterangan produser eksekutif, Krisnawati dalam acara konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/4). Jelita merupakan nama panggilan untuk anak perawan di daerah Natuna, sedangan Sejuba adalah nama daerah di kepulauan Natuna. Sosok itu kemudian diwakilkan oleh Sharifah (Putri Marino), seorang perempuan pesisir Natuna yang mengagumi sosok prajurit TNI bernama Jaka (Wafda Saidan Lubis).
Pertemuan keduanya berlangsung biasa, malah nyaris sama dengan anak muda pada umumnya. Jaka yang sedang bertugas mampir ke warung makan milik keluarga Sharifah, dan dari situlah keduanya mulai jatuh cinta.
Cerita film terus berlanjut, setelah sempat pulang ke daerah asal, Jaka akhirnya kembali lagi ditugaskan ke Natuna. Kali ini doi mantap ingin menjadikan Sharifah menjadi seorang istri. Setelah sang ayah (Yayu Unru) meninggal dunia setelah melaut, Jaka akhirnya resmi mendapatkan restu menikahi Sharifah.
Berbagai syarat dan tes menjadi seorang istri anggota TNI ,—yang mungkin jarang orang tau, wajib kedua pasangan ini lalu. Belum lagi perasaan dilematis selalu muncul dalam diri Sharifah saat suami bertugas. Pertanyaan kegalauannya sih sederhana, “Apakah sang suami bisa kembali pulang atau hanya tinggal nama?”
Keteguhan hati seorang istri yang patut ditiru
Meski ini bukan film pertama yang mengangkat soal TNI, namun ‘Jelita Sejuba’ justru menawarkan sisi cerita yang lebih kaya dan humanis. Walau gak sedikit ditambahi oleh bumbu drama, namun sosok Sharifah bisa dibilang ‘nyata’, sekaligus menggambarkan kodrat seorang istri kepada suami.
Penulis ngerasa pesan moral filmnya cukup dapet, yaitu bagaimana sepasang suami-istri mampu mensupport satu sama lain, bukan karena embel-embel materi atau gombalan, tapi bagaimana mereka bisa menjaga perasaan masing-masing dengan sikap tegar dan iklas.
Sebagai contoh, Sharifah gak pernah menampakkan rasa khawatirnya saat Jaka bertugas, begitu juga sebaliknya. Wajar jika keteguhan kedua pasangan di film ini mampu bikin penonton baper sampe matanya berkaca-kaca.
Meskipun penulis ngerasa latar waktu yang dibuat sutradara film ini agak lompat-lompat (mulai dari era DiscMan ke smartphone layar sentur), namun hal itu sama sekali gak mengurangi benang merah filmnya supaya juga bisa masuk ke penonton remaja sekalipun.
Lewat latar belakang kebudayaan Natuna yang kental, hampir 40 persen dialog di film ini menggunakan bahasa Melayu. Urusan musiknya juga klop karena dibawain sama musisi lokal di Natuna, Sanggar Langkadura yang berkolaborasi dengan Music Director Ricky Surya Virgana, salah satu personel White Shoes & the Couples Company.
Secara keseluruhan, “Jelita Sejuba” emang bercerita soal keteguhan hati seorang istri TNI. Namun terlepas dari itu, ada juga pesan lain yang ingin ditampilkan, seperti kehidupan prajurit TNI yang sejatinya adalah manusia biasa, atau bagaimana cari kita untuk berusaha saling menjaga perasaan satu sama lain dengan pasangan kita.
Gak ketinggalan, kalo lo pengen belajar menjadi istri yang baik nanti, wajib nonton film “Jelita Sejuba”. FYI, filmnya juga nampilin berbagai keindahan alam Natuna yang sayang buat kamu lewatin, loh.