Genmuda – Menjelang ujian SBMPTN, banyak siswa belajar lebih giat dari biasanya karena berharap masuk perguruan tinggi favorit. Ujian selesai, namun kecemasan yang dirasa ketika menghadapi ujian tetap ada selama menunggu pengumuman. Tentunya ini merupakan sikulus musiman alias wajar terjadi pada tiap orang.
Namun demikian, giliran diumumkan masuk perguruan tinggi pilihan, ada sejumlah siswa yang ternyata menyambutnya dengan biasa. Bahagia, tapi kebahagiaannya engga menggelembung sebesar kecemasannya waktu menghadapi ujian tertulis penentu nasib itu. Kamu gitu juga engga?
Kira-kira kenapa hal itu bisa terjadi ya? Berikut ini adalah sejumlah alasan seseorang hanya merasa hampa meski telah lolos SBMPTN sesuai dengan harapannya.
Jadi wajar
Profesor binis Sekolah Tinggi Manajemen Yale, Victor H Vroom bilang, harapan seseorang berbanding lurus dengan upayanya melakukan sesuatu. Dan kemungkinannya berhasil akan semakin besar seiring dengan besar upayanya. Vroom bilang, “Upaya seseorang akan semakin besar semakin dia yakin akan hasilnya.”
Dalam kasus SBMPTN, masuk perguruan tinggi favorit di jurusan yang diinginkan menjadi motivasi utamanya. Berdasarkan pendapat Vroom, siswa-siswa yang paling berharap cenderung mengeluarkan upaya paling besar.
Sementara itu, peneliti Institute of Cognitive Science and Technology, Giovanni Pezzulo bilang, “ketika seseorang memprediksi sesuatu dan berharap ekspektasi itu tercapai, orang itu bisa mengantisipasi hasilnya nanti.”
Otomatis mengantisipasi
Dengan kata lain, siswa yang belajar giat dan mengerjakan soal SBMPTN dengan serius bisa ‘menebak’ dia lolos ujiannya. Bukannya terkejut dan merasa gembira bukan kepalang, otak pun langsung menyiapkan hal-hal yang perlu dilakukan selanjutnya karena sudah dalam mode ‘antisipasi.’
Mungkin itulah sebabnya banyak anak yang baru lulus SBMPTN langsung mencari jalan buat beli laptop, pakaian bagus, dan buku-buku kosong. Otaknya menganggap itu persiapan yang diperlukan buat menyambut masa kuliah.
Sementara itu, mereka yang ikut SBMPTN hanya sebatas iseng cenderung punya kemungkinan lolos lebih kecil. Mereka pun cenderung engga merasa kecewa meski dinyatakan gagal di SBMPTN. Salah satu sebabnya adalah karena mereka udah mengantisipasi hal itu dari awal.
Engga sesuai harapan
Sementara itu, mereka yang gagal mendapat perguruan tinggi favorit dari SBMPTN meski sudah berusaha mati-matian akan kecewa berat. Pezzulo berpendapat itu dampak dari otak yang kebingungan karena prediksi, ekspektasi, dan antisipasinya engga sesuai kenyataan.
Selain itu, di tengah ‘banjirnya’ anak muda berpendidikan di Indonesia, lulus ujian masuk perguruan tinggi bukan lagi menjadi prestasi, melainkan sebuah hal yang udah ‘seharusnya terjadi’. Meski begitu, fase kehidupan kampus sama pentingnya dengan fase lain.
Karena melalu fase ini, anak muda bakal menghadapi miniatur dunia nyata yang diperlukan supaya pada siap menghadapi dunia kerja. Meski berada dalam lingkungan akademik, kamu tetap bisa mengambil banyak pengalaman selama hidup jadi mahasiswa. (sds)