Genmuda – Film Disney Princess “Beauty and the Beast” kembali tampil di layar lebar. Tanpa mengubah garis besar narasi, sutradara Bill Condon tambahin kisah-kisah kecil di sana-sini yang bikin film musikal epik-romantis ini lebih ngaduk-ngaduk perasaan penonton.
Stephen Chbosky dan Evan Spiliotopoulus sebagai penulis naskahnya bikin dialog tiap karakter terasa lekat sama kehidupan anak muda sekarang, tanpa ngerusak latar Prancis abad pertengahan pada film. Keren abis.
Menyambut apiknya kerja tim produksi, Disney juga mengubah kastil Disney yang biasa muncul di tiap filmnya menjadi kastil Beast. Abis itu, filmnya mulai dengan tampilin latar belakang Sang Pangeran (Dan Stevens) dikutuk penyihir sampai jadi monster.
Kisah mereka dimulai
Setelah itu, mulailah adegan Belle (Emma Watson). Perempuan kutu buku yang ngerasa terkekang hidup di desa kecil dan monoton. Doi pengen bebas berpetualang, tapi apa daya. Masyarakat desa menuntutnya hidup manut seperti “perempuan pada umumnya.”
Kecantikan Belle bikin Gaston (Luke Evans) jatuh hati sampai buta logika. Veteran perang berpangkat kapten itu langsung godain si kutu buku tapi ditolak mentah-mentah. Godain lagi, gagal lagi. Godain lagi, gagal lagi.
Ayahnya Belle, Maurice (Kevin Kline) jelas engga setuju cowok tak beradab macam Gaston kawinin anaknya yang cerdas, penyayang, baik, dan banyak akal. Pada suatu hari, Maurice ingin ambil sekuntum mawar sebagai hadiah buat Belle.
Ngambil bunga di area hutan yang salah, Maurice disekap Beast di dalam kastil. Belle yang akhirnya tau soal penyekapan ayahnya langsung berangkat ke area kastil dan bersedia menjadikannya tawanan sementara ayahnya dilepaskan. Maka, mulailah hubungan si cantik dan si buruk rupa.
Lebih masuk akal
Kisah-kisah tambahan mulai perlihatkan fungsinya. Kamu bisa tau alasan sebenarnya Sang Pangeran yang waktu kecil baik berubah jadi pemuda sombong yang kasar. Kamu juga bisa tau alasan sebenarnya Belle dan Ayahnya begitu menyukai bunga mawar.
Alasan Gaston akhirnya bertekad nyingkirin Beast dari muka bumi juga terasa lebih real. Doi bukan lagi preman desa yang bodoh kayak di film kartun. Berkat instingnya sebagai mantan kapten yang haus cinta, doi sadar kalo Belle menyukai Beast. Makanya, doi pengen bunuh semua penghalang cintanya.
Penulis naskah dan sutradaranya juga siratkan sedikit cerita latar belakang LeFou (Josh Gad). Seperti yang kemungkinan besar udah kamu denger dari berita, dia merupakan seorang gay yang menyukai Gaston. Makanya, doi mau disuruh ngapa-ngapain sama si mantan kapten.
Adegan-adegan yang gay ditampilin dengan jenaka, kok. Anak-anak kecil mungkin ngeliat itu sebagai salah satu dari becandaan dalam film. Makanya, lembaga sensor film mutusin film ini bisa ditonton 13 tahun ke atas, bukannya Dewasa.
Musikalnya bagus banget
Apalah arti film roman tanpa musik romantis. Alan Menken yang bertanggung jawab sama urusan scoring dan timnya patut diacungi empat jempol. Mereka berhasil ngedit suara nyanyian aktor-aktris engga out of tunes. Semuanya terdengar harmonis sama iringan musik klasik.
Kecuali penyihir (Hattie Morahan), semua karakter dapet jatah nyanyi ballad. Satu nomor yang dinyanyiin gabungan Lumiere (Ewan McGregor), Cogsworth (Ian McKellen), Mrs Potts (Emma Thompson), Chip (Nathan Mack), Madame Garderobe (Audra McDonald), Maestro Cadenza (Stanley Tucci), dan Plumette (Gugu Mbatha-Raw) patut ditunggu-tunggu.
Banyak easter eggs film lain
Mungkin ini efek film “Deadpool” (2016) yang kebanyakan nampilin easter eggs film lain, “Beauty and the Beast” juga kayak gitu. Dengerin percakapan soal lupa sesuatu, maka kamu bakal inget Neville Longbottom.
Coba liat adegan penyihir, kamu pasti ngerasa ini kok Harry Potter banget. Kalo liat adegan berantem si Cogsworth, bisa jadi kamu inget elang-elang yang ada di “Lord of the Rings.”
Easter eggs soal Dan Stevens waktu jadi Sir Lancelot di film “Night of the Museum 3” (2014) juga ada dan anak buah Luke Evans bakal kayak di film “The Three Musketeers” (2011). Tenang aja, sang sutradara membalut itu semua dengan samar-samar. Engga ketara banget.
Terlalu sering close up Emma Watson
Satu-satunya kritik justru berasal dari kekuatan film ini. Emma Watson. Iya, setengah jam pertama sih penonton bakal bersyukur liat close up ekspresi aktris Inggris yang kembali peranin cewek kutu buku.
Tapi, bukan berarti tiap lima menit sekali harus ada adegan close up wajahnya kan? Masa iya sih doi lagi minum teh aja kamera harus fokus ke bibirnya. Terlalu sering ditampilin gitu bikin penonton bosan juga keleus.
Seperti itulah kisah film yang di Indonesia udah tayang beberapa hari sebelum initial release di Amerika Serikat 17 Maret. Sebelum kamu nonton di bioskop, cek dulu trailernya di bawah ini.
(sds)