Genmuda – Avatar dan Titanic masih kuat bertengger di deretan rekor teratas box office dunia. Tak akan ada yang membantah kalau faktor utamanya datang dari sosok James Cameron. Kariernya langsung menanjak pasca The Terminator (1984), setelah sebelumnya menggarap sekuel kelas B berjudul Piranha II: The Spawning (1982).
Namun Cameron emang gak buru-buru menelurkan sebuah karya, baik sebagai sutradara atau produser lewat rumah produksinya, Lightstorm, yang didirikannya paska menggarap The Abyss (1989), sebelum visi utama soal teknologi sinematis benar-benar memberinya keleluasaan teknikal penuh. Film demi film yang dihasilkannya, rata-rata meletakkan titik berat pada standar baru dalam urusan ini.
Kini Kawan Muda bakal disajikan oleh sekuel kedua Avatar yang berjudul Avatar: The Way of Water yang tayang serentak di bioskop-bioskop Indonesia pada 14 Desember 2022. Kayak gimana keseruannya? Berikut reviewnya!
Bangsa Na’vi with Another Level
Avatar: The Way of Water berlatar beberapa tahun setelah bangsa Na’vi berhasil mengusir bangsa langit alias umat manusia dari Pandora. Kini, Jake Sully (Sam Worthington) dan Neytiri (Zoe Saldana) telah resmi menjadi pasangan dan memimpin Omaticaya alias klan hutan.
Mereka berdua dikaruniai tiga anak, yakni Neteyam (Jamie Flatters), Lo’ak (Britain Dalton) dan Tuk (Trinity Jo-Li Bliss). Jake dan Neytiri juga mengadopsi Kiri (Sigourney Weaver), anak Dr. Grace sang ilmuwan yang berpihak kepada bangsa Na’vi di film Avatar pertama.
Kedamaian itu sayangnya tidak berlangsung lama karena umat manusia kembali datang untuk mengambil alih Pandora. Mereka memiliki misi untuk menangkap Jake Sully yang menjadi sosok kunci di balik perlawanan bangsa Na’vi.
Situasi ini juga semakin membuat Jake Sully terpojok karena harus melindungi bangsa Na’vi dan keluarganya. Dia dan anggota keluarganya lalu memutuskan untuk pergi menuju wilayah bangsa karang laut alias Metkayina, tempat yang dirasa tepat untuk mengasingkan diri dari kejaran bangsa langit.
Namun, ternyata ancaman manusia nyatanya belum berhenti, meski Jake Sully dan keluarganya telah kabur. Mereka kini berhadapan dengan serangan para penjajah dalam kondisi yang sulit dan penuh tantangan.
Padat, lengkap, manjain mata
Well, seperti film-film James Cameron lainnya, Avatar: The Way of Water sama sekali tidak menawarkan plot yang benar-benar baru di lapisan terdasarnya. Semua terasa seperti film-film Cameron sebelumnya, selalu ada selipan hati yang disisipkan di tengah mish-mash dan campur aduk plot serta referensi khas miliknya.
Film ini mungkin tak seromantis Titanic, dan tak sekontroversial True Lies ataupun sevokal Avatar sebelumnya, tapi tetap ada di ranah permainan emosi suami-istri ataupun ayah-anak yang bisa jadi sangat tipis, tapi tetap terasa sebagai motivasi sama kuat dalam penelusuran plotnya secara keseluruhan.
Tapi jagoan utama film ini ada di ranah pameran dan persembahan visualnya. Cameron lagi-lagi kembali meletakkan standar baru untuk urusan CGI dan performa motion capture (mo-cap) yang luar biasa realistis. Saat sineas atau filmmaker lain berlomba-lomba menggunakan teknologinya untuk karakter-karakter monster atau non-human lain, maka Cameron dan timnya menggagas tingkatan baru dari apa yang mereka lakukan di film Avatar pertama hingga memakan waktu bertahun-tahun untuk memperlihatkan betapa polesan CGI dan mo-capnya justru bisa begitu efektif untuk menerjemahkan ekspresi-ekspresi hingga sorot mata dari setiap makhluk Na’vi yang tampil di layar.
Gak usah ditanya gimana kerapihan teknologi ini dalam bangunan adegan-adegan aksinya. Muncul luar biasa seru, teknologinya juga memungkinkan koreografi yang pastinya sulit dicapai oleh stunt asli ataupun CGI di film-film lain. Mendobrak gravitasi dan berkali-kali membuat penontonnya takjub hingga menganga, semua titik penggunaan CGI di sini benar-benar melewati level yang bisa kita bayangkan sebelumnya.
Truly beyond next level, termasuk dengan tampilan 3D yang sungguh tak percuma. Ini sebanding dengan pencapaian film Avatar saat pertama kali dirilis dahulu.
Di atas semuanya, mereka seakan menonjok dan menyadarkan banyak orang mengapa teknologi sinematis memang memerlukan sinema sebagai platform paling layak untuk menikmati segala sisinya.
Pengembangan bertahun-tahun (tepatnya selama 13 tahun!) Cameron, menunggu sampai teknologi menyanggupi visinya, tampaknya tidak sia-sia. Film ini pun berhasil tercipta dengan sempurna.
Singkatnya Cameron memang tahu bagaimana membuat orang terhibur dengan maksimal. Menyuguhkan atraksi magis yang luar biasa lewat tontonan yang memakan waktu 3 jam lebih ini.
Kesimpulan
Avatar: The Way of Water tidak hanya menawarkan sebuah hiburan yang mengundang kita untuk bertepuk tangan di setiap adegannya, tetapi juga mengajak kita untuk masuk ke sebuah dunia penuh petualangan fantasi yang diciptakan oleh sutradara yang juga pernah membesut film The Terminator dan sekuelnya, Terminator 2: Judgment Day itu.
Visi ajaib dan jenius Cameron benar-benar tertuang dengan formula dan perhitungan yang hati-hati, dan hasilnya adalah mahakarya yang dikemas dengan spektakuler, lengkap dengan kandungan cerita, action, spesial efek, dan karakter yang akan melemparkan imajinasi para penonton ke tempat yang tidak lagi bisa terjangkau.
Layaknya hidangan-hidangan restoran yang terus berdatangan, film ini pun terus menawarkan kita menu-menu terbaiknya. Belum selesai kita “menyantap” adegan penuh kejar-kejaran dan ledakan yang “hillariously” indah, bersiaplah karena film ini masih punya adegan-adegan maha dasyat lainnya yang menunggu di balik keindahan planet bernama Pandora.
Avatar: The Way of Water pun menutup kisahnya dengan sempurna, di mana paruh ketiga akhir film ini adalah klimaks terbaik yang pernah penulis alami di bioskop pada tahun ini. Tak terlupakan dan melebihi kata spektakuler. Avatar: The Way of Water simply become The King of 2022. (Sultan Fardhan)