Genmuda – Film Avatar: Fire and Ash resmi tayang di Indonesia mulai 17 Desember 2025. Film ini mungkin jadi salah satu film yang paling ditungguin sama Kawan Muda. Kayak gimana keseruannya? Baca dulu aja review Genmuda.com berikut ini.
Lanjutan Jake and family

Setelah kejadian di Avatar: The Way of Water, kehidupan Jake Sully (Sam Worthington) dan Neytiri (Zoe Saldana) belum benar-benar pulih. Mereka masih berduka atas kehilangan Neteyam, sementara Lo’ak menyimpan rasa bersalah yang terus menghantui.
Pandora pun belum benar-benar aman. Manusia alias Sky People masih ngotot menjajah bulan indah itu setelah menghancurkan Bumi, tanpa peduli dampak moral atau korban yang jatuh.
Nah, ancaman kali ini datang dari Colonel Miles Quaritch (Stephen Lang) yang kembali dengan rencana baru. Ia bersekutu dengan klan Mangkwan atau Ash People, kelompok Na’vi yang menolak Eywa setelah desa mereka hancur oleh letusan gunung berapi. Dipimpin Varang (Oona Chaplin), sosok penuh amarah yang ingin membakar dunia, konflik pun bergerak ke arah yang lebih brutal dan destruktif.
Formula lama yang masih cukup ampuh!

Seperti dua film sebelumnya. Pandora digambarkan sebagai dunia yang benar-benar hidup. Cahaya bioluminesen di kegelapan, detail kulit dan gerakan Na’vi, sampai desain makhluk terbang yang penuh warna terasa dibuat dengan cinta dan obsesi tingkat tinggi. Secara teknis, sinematik James Cameron emang gak perlu diragukan lagi.
Sayangnya, di balik visual yang luar biasa itu, ceritanya kembali terasa datar. Plot Fire and Ash masih bermain di jalur aman, bahkan cenderung generik, dengan dialog yang kadang terdengar klise. Beberapa kalimat penting terasa kehilangan bobot emosional, seolah cuma jadi pengisi transisi antar adegan spektakuler.
Konflik emosional keluarga Sully sebenarnya punya potensi besar. Namun, semua itu sering keburu tertutup oleh laju cerita yang cepat dan fokus berlebih pada aksi serta skala besar.
Soal antagonis, Sky People lagi-lagi digambarkan tanpa banyak lapisan. Manusia tampil sebagai simbol kolonialisme yang keras kepala dan minim empati, bahkan rela membunuh makhluk hidup cerdas demi keuntungan sendiri. Kembalinya Quaritch dan aliansinya dengan Ash People memberi ancaman baru, tapi tidak cukup untuk mengangkat kedalaman cerita secara signifikan.
Untungnya, adegan aksi di film ini cukup brutal dan intens. Pertempuran terasa cepat, penuh energi, dan nyaris tanpa jeda. Meski bagian klimaksnya agak kepanjangan dan durasi total film hampir tiga jam lebih, visual yang konsisten memanjakan mata membuat rasa capek sedikit terkompensasi.
Kesimpulan

Avatar: Fire and Ash adalah bukti bahwa James Cameron masih berada di level teratas soal dunia visual dan teknologi film. Pandora kembali tampil memukau, indah, dan imersif dengan cara yang sulit ditandingi film lain. Namun, untuk urusan cerita, sekuel ini masih terjebak di pola lama: megah di tampilan, tapi minim kejutan di narasi.
Kalau Kawan Muda menikmati dua film Avatar sebelumnya, film ini hampir pasti tetap memuaskan, terutama kalau ditonton 3D di layar besar kayak IMAX. Tapi kalau untuk cerita, ya rasanya tidak jauh berbeda dari yang pertama, dan lebih baik dari yang kedua.



