Jum'at, 26 April 2024

Genmuda – Jika ditanya kota mana yang menjadi kota paling romantis di dunia, sebagian besar dari Kawan Muda mungkin akan menjawab Paris. Sayangnya, kota cinta itu lagi-lagi harus dirundung duka akibat aksi serangan teroris.

Di bulan Januari yang lalu, dua orang bersenjata telah menyerang kantor majalah satir Prancis Charlie Hebdo di Paris, menewaskan 12 orang dan melukai 11 orang lainnya. Serangan itu terjadi sebagai Said dan Cherif Kouachi atas publikasi kartun yang mereka yakini menghina Nabi Muhamad. Keduanya pun lalu tewas tertembak dalam pertikaian dengan polisi di Dammartin-en-goele dua hari setelah insiden.

Kini, belum luput dari ingatan kita mengenai serangan Charlie Hebdo tersebut, Paris justru kembali menjadi sasaran aksi serangan teroris. Penembakan dan pengeboman di Paris maupun Saint-Denis Jumat (13/11) malam waktu setempat terjadi di tujuh lokasi dan menewaskan setidaknya 153 orang. Penembakan terjadi secara membabi buta, dengan korban terbanyak ada di gedung konser Bataclan.

Kami berbaring di lantai agar tidak terluka. Itu sungguh kepanikan besar. Para teroris menembaki kami selama sekitar 10 hingga 15 menit. Itu adalah pertumpahan darah,” kata seorang jurnalis yang berhasil keluar dari gedung konser Bataclan kepada CNN.

Sekitar 100 orang kabarnya juga sempat menjadi sandera para pria bersenjata sebelum akhirnya polisi datang menyergap. Beberapa penyerang pun telah tewas akibat ditembak polisi maupun melakukan aksi bom bunuh diri. Meski begitu, Perancis telah mengumumkan keadaan darurat nasional dan menutup perbatasannya. Warga Paris telah diminta pula untuk tetap berada di rumah.

Well, melihat dari serangan yang terjadi di Paris tersebut, muncul pertanyaan apakah Paris yang terkenal dengan keromantisannya masih menyimpan sedikit cinta untuk dibagikan kepada dunia. Tentu sungguh ironis jika Paris yang katanya kota cinta harus berakhir di tangan para teroris yang mungkin telah dibutakan oleh cinta atau keyakinan tidak berdasar.

Serangan Paris (Sumber: New York Times)

Namun demikian, tidak perlu menunggu lama para warga Paris ternyata dapat langsung menjawab pertanyaan tersebut lewat sebuah aksi yang benar-benar nyata. Di saat para pendukung ISIS menggunakan media sosial untuk merayakan serangan di Paris, mereka menggunakan media sosial untuk bangkit dengan sendirinya dan kembali menyebar cinta kepada sesama.

Melawan tagar #Parisisburning yang sebagiannya berisi ‘sukacita’ para pendukung ISIS, warga Paris bersatu menggunakan tagar #PorteOuverte (bahasa Perancis untuk “pintu terbuka”) di Twitter untuk menawarkan tempat perlindungan bagi mereka yang membutuhkan. Sungguh langkah yang terbilang berani, mengingat bisa saja yang mereka selamatkan justru salah satu dari para pelaku serangan.

Aksi para warga Paris itu pun jelas menginspirasi warga dunia untuk ikut menunjukkan dukungan dan simpati mereka lewat tagar-tagar seperti #prayforparis dan #peaceforparis. Facebook bahkan sampai meluncurkan sebuah fitur yang memungkinkan para penggunanya di Paris untuk memberi tahu jaringan mereka bahwa mereka sudah aman.

Singkatnya, bisa dibilang warga Paris telah mampu untuk menerapkan ‘Ilmu Bulu Ketiak’ alias “Belajarlah dari bulu ketiak, walau selalu terhimpit, ia tetap tegar tumbuh dan bertahan.” Di tengah situasi yang mencekam, warga Paris masih dapat menunjukkan kepedulian mereka terhadap orang lain dan tidak egois menyelamatkan diri mereka sendiri.

Ibarat Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa “Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan”, Genmuda.com pun setuju dengan pernyataan Presiden Perancis François Hollande kepada seluruh warganya bahwa:

“Kita harus menunjukkan kasih sayang dan solidaritas. Kita juga harus menunjukkan kesatuan dan tetap tenang. Perancis harus kuat dan besar.”

(sds)

Comments

comments

Gabrielle Claresta
Eccentric daydreamer