Sabtu, 27 April 2024

Genmuda – Seorang siswa di SMA Taruna Nusantara Magelang tega membunuh teman sekolahnya sendiri. Setelah diselidiki polisi, ternyata dia hobi nonton film yang mengandung kekerasan, terutama “Rambo” yang jadi obsesinya. Abis itu, semua orang nyimpulin tontonan kasar bikin orang jadi kasar.

Kalo diperhatiin, penyelidikan polisi sama sekali engga mengungkap hubungan sebab-akibat antara violence movie dengan violence behaviour, loh. Faktanya cuma nunjukin kalo si pelaku suka nonton film perang.

Belum tentu film yang mempengaruhi perilaku doi, karena bisa aja perilaku bawaan doi yang emang kasar bikin doi suka nonton filmnya. Pertanyaan kayak “duluan telur atau ayam” ini juga jadi sorotan para peneliti luar negeri yang penasaran sama hubungan violence movie dan game terhadap kekerasan remaja di negara masing-masing.

Apa kata peneliti?

via vg247.com
Cuplikan perang di game “Battlefield 1” (2016). (Sumber: vg247.com)

Nelly Alia-Klein, profesor di Friedman Icahn School of Medicin, New York, dalam penelitiannya bilang bahwa film yang mengandung kekerasan memang berpengaruh bikin orang jadi kasar, tapi hanya jika orang itu emang tertarik dengan kekerasan.

Dalam penelitiannya, tim Alia-Klein memeriksa detak jantung, aliran darah, dan rangsangan otak dari 54 orang saat keadaan rileks, nonton video yang menggugah empati, dan nonton kompilasi cuplikan adegan kasar. Orang-orang yang diteliti itu dibagi jadi dua kelompok, yaitu yang pernah berkelahi dan yang ‘polos’ atau jarang terlibat dalam perselisihan.

Respon fisik kedua kelompok engga jauh berbeda saat rileks dan menonton video yang menggugah empati. Namun, kondisinya beda drastis ketika dipertontonkan adegan sadis.

Tekanan darah mereka yang polos meningkat, jantung berdegup, dan bagian orbitofrontal cortex di otak jadi aktif. Sementara itu, area orbitofrontal cortex mereka yang pernah berkelahi tetep tenang dengan tekanan darah yang stabil, malah ada yang turun.

Apa maknanya?

via: Tumblr

“Berdasarkan data tekanan darah yang kami ambil, orang yang punya kecenderungan agresif sama sekali tidak terganggu dengan siaran sadis. Sementara orbitofrontal cortex yang tetap tenang menandakan mereka tidak berpikir kalau kejadian yang mereka lihat itu buruk. Bagi, mereka semuanya normal,” kata Alia-Klein ngejelasin.

Profesor itu menduga kalo agresivitas mereka justru makin meningkat setelahnya. “Saat mereka ‘meledak,’ ada kemungkinan mereka mempraktikkan adegan sadis yang ditonton. Ya, filmnya mengajarkan cara-caranya bagi mereka yang kasar,” tambah Alia-Klein, seperti dikutip telegraph.co.uk, September 2014.

Apa kata peneliti lain?

via Istimewa
“Grand Theft Auto V” (2013), game berisi adegan sadis yang paling laris tahun 2014. (Sumber: Istimewa)

Penelitian Alia-Klein yang matahin pendapat umum kalo film sadis berpengaruh buruk bagi semua orang itu dijelasin lebih lanjut sama Marco Iacoboni, profesor di David Geffen School of Medicine, University of California, Los Angeles. Iacoboni bilang hasil penelitian Alia-Klein sangat masuk akal.

“Kondisi orbitofrontal cortex yang tenang bisa diartikan sebagai ketidakmampuan orang agresif menahan diri ketika marah. Orang yang ‘polos’ jelas mampu melakukannya karena area penting di otak mereka bekerja dengan baik,” katanya.

“Sementara itu, dari data tekanan darah, mereka yang memang agresif merasa nyaman menonton film sadis. They feel at home,” tutupnya seperti dikutip nbcnews.com, September 2014.

Jadi film dan game sadis engga bakal punya pengaruh apa-apa kalo kepribadian orangnya engga agresif. Intinya, kita engga harus jadi parno anti film superhero dan film perang, tapi harus berusaha jadi orang baik yang engga emosian. (sds)

Comments

comments

Charisma Rahmat Pamungkas
Penulis ala-ala, jurnalis muda, sekaligus content writer yang mengubah segelas susu cokelat hangat menjadi artikel.