Kamis, 3 Oktober 2024

Genmuda – Izinkan Genmuda.com menulis lebih formal dan puitis dari biasanya buat ceritain konser Jakarta Concert Orchestra (JCO), Rabu malam (31/1). Isyana Sarasvati sumbang kemampuan terbaiknya di konser musik klasik yang juga mengundang pianis muda berbakat Jonathan Kuo itu.

Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki malam itu dingin berangin. Sebagian besar pengunjung melihat ke langit malam, berharap menangkap penampakan gerhana super blue/blood moon dari balik awan mendung.

Sebagian lagi yang memakai baju lebih formal masuk ke teater untuk tonton Konduktor Avip Priatna memimpin lebih dari 50 musisi JCO mainin komposisi-komposisi klasik karya sejumlah komposer legendaris, seperti Franz Listz, Leo Delibes, Johann Strauss II, juga J Brahms.

via Jakarta Concert Orchestra
Dok. Jakarta Concert Orchestra

Di antara banyak karya masterpiece tiap komposer, dipilih satu lagu yang mewakili tema “Invitation to the Dance.” Konsernya benar-benar sempurnakan gerhana bulan malam itu.

Tiap gesekan dawai, tiupan horn, tarikan suara, dentingan piano, dan tabuhan perkusi tertata dengan harmonis. Komposisinya sungguh bebas dari kata membosankan karena dimainkan secara dinamis. Penonton pun terbawa suasana karena musisinya ekspresif.

Klasik yang apik

Dok. Jakarta Concert Orchestra
Dok. Jakarta Concert Orchestra

“Spanish Dance No 1” karya Manuel de Falla buka konser dengan goyangan khas irama latin. “Invitation to The Dance” karya CM von Weber main meriahin suasana. Penonton diajak tenang sejenak lewat komposisi “Pavane” karya Gabriel Faure.

Setelah itu, komposisi anak negeri ditampilin kali pertama di Bumi. “Panen Raya” karya Fero Aldiansya Stefanus musikalisasikan kemeriahan musim panen dengan nuansa musik Sumatera Barat. Bahkan kicau burung dan lenguh kerbau diterjemahkan ke dalam notasi balok dan dimainkan JCO.

Setelah itu, Jemari Jonathan Kuo menari dengan sempurna sementara badannya bergoyang penuh penghayatan ikuti tiap tarikan bow pada dawai alat-alat musik gesek lagu “Totentanz” karya Liszt. Sesi pertama berakhir dan penonton dipersilakan istirahat 20 menit.

Dok. Jakarta Concert Orchestra
Dok. Jakarta Concert Orchestra

Sesi kedua berlangsung dengan lagu romantis “Norwegian Dances, Op 35” karya EH Grieg. Lagu selanjutnya adalah “Les Filles de Cadix” karya Leo Delibes dan “Fruhlingsstimmen – Walzer, Op 410” karya Johann Strauss II.

Kedua lagu itu dinyanyiin diva malam itu. Isyana Sarasvati bernyanyi dengan suara sopran yang bervibrasi dari panggung hingga rembes ke dalam hati penontonnya. Mimik dan tarian gemulai dengan gaun putihnya sempurna. Isyanation pasti nyesel gak liat idolanya bernyanyi ala opera.

Setelah Isyana turun, Avip dan tim musisinya membabat lagu “Danse Bacchanale” karya Camille Saint-Saens dengan bersemangat. Setelahnya, ada tambahan satu lagu yang gak tertulis pada booklet acara, yaitu “Hungarian Dance No. 5” karya Johannes Brahms yang tutup konser dengan gempita.

Penjelasan dengan bahasa anak muda

Jakarta Concert Orchestra
Dok. Jakarta Concert Orchestra

Sekarang, izinkan Genmuda.com jelasin kata-kata relatif puitis di atas pake bahasa yang lebih anak muda. Gini. Suasana macam di film “The Mask of Zorro” (1998) melanda seluruh panggung gara-gara lagu pertama.

Sebagian komposisi lain terdengar seperti diekstrak langsung dari kartun “Tom & Jerry” dan “Bugs Bunny.” Itu sebuah pujian mengingat dua kartun itu nampilin musik yang bikin penontonnya mendadak suka klasik.

Sementara itu, komposisi “Totentanz” bernuansa antagonis banget. Lagunya terdengar berat dan kejam, tasa mirip lagu yang dimainin tiap kali Darth Vader muncul di berbagai adegan franchise “Star Wars.”

Deskripsi paling gampangnya gini deh, gaes. Group Jakarta Concert Orchestra tuh baru nyetem alat musik dan soundcheck aja udah merdu dan keren. Gimana pas bawain komposisi legendaris coba!

Kritik buat penontonnya

Dok. Jakarta Concert Orchestra
Dok. Jakarta Concert Orchestra

Namun, sayang sejuta sayang konser sempurna itu sedikit rusak lantaran kelakuan penonton Indonesia yang ketauan banget lebih sering nonton acara alay festival daripada pementasan musik klasik.

Pada lagu “Norwegian Dances, Op 35,” penonton udah tepuk tangan aja padahal lagu belum selesai. Tau dari mana belum selesai? Karena Avip belum balik badan lalu senyum ke penonton. Padahal, dia udah lakuin ritual itu dari awal buat menandai akhir suatu komposisi.

Terus, masih ada aja penonton nakal yang mengambil gambar lewat smartphone padahal panitia udah ngasih peringatan, “Dilarang menyalakan alat elektronik, merekam, dan memotret sepanjang sesi berlangsung.”

Apa kata penontonnya?

Dok. Jakarta Concert Orchestra
Dok. Jakarta Concert Orchestra

Sebagian penontonnya ternyata merupakan rombongan mahasiswa jurusan seni musik Universitas Negeri Jakarta. Mereka seneng nonton konser di malam istimewa itu karena pada dapat ilmu baru.

Contohnya ada pada, Tulloh (23), mahasiswa yang menekuni vokal tenor (suara tinggi pria) bilang, dia belajar banyak dari teknik menyanyi klasik yang Isyana lakuin. Senada kayak Tulloh, Winny (23) juga belajar banyak dari cara Isyana berekspresi dan menguasai panggung.

Sementara itu buat tiga orang Kawan Muda lainnya, Risa (20), Veni (21), dan Rafika (21) yang mendalami piano menyatakan acaranya berlangsung meriah berkat penyusunan program. Kata mereka, Avip jago banget mainin perasaan penonton dari naik-turun, senang-sedih dengan menyusun komposisi.

Apa kata artis?

Dok. Jakarta Concert Orchestra
Dok. Jakarta Concert Orchestra

Setelah konser, Isyana bilang, “Aku merasa seperti pulang ke rumah karena menyanyi klasik seperti tadi.” Kata Isyana, Avip merupakan pelatih musiknya dari Isyan masih kecil banget.

Sementara itu, Jonathan Kuo merasa tersanjung bisa main sang diva idolanya. “Isyana, she’s smart dan genius. Tiap lagunya punya warna yang khas dan aku suka banget.”

Asalkan ada yang mau sponsorin, Avip bersedia bawa konser klasik itu keliling Indonesia. Saat ditanya apa pentingnya musik klasik buat anak muda, Avip bilang gini:

“Musik klasik itu ibarat penyeimbang musik-musik pop. Musik klasik dibuat dengan lebih terkonsep dan detil dari aliran lain. Selain itu, riset juga bilang bahwa musik klasik yang diperdengarkan sejak anak dalam kandungan mampu merangsang anak itu menjadi cerdas nantinya.” (sds)

Comments

comments

Charisma Rahmat Pamungkas
Penulis ala-ala, jurnalis muda, sekaligus content writer yang mengubah segelas susu cokelat hangat menjadi artikel.