Selain Karena “Darah Muda,” Ini Alasan Anak SMA Nekat Lakuin Kebiasaan Buruk buat Dirinya
Genmuda – Bener kata lirik dangdut Bang Rhoma Irama (sekarang jadi politikus). “Darah muda, darahnya para remaja yang selalu merasa gagah dan tak mau mengalah. Masa muda, masa yang berapi-api. Yang maunya menang sendiri, walau salah tak peduli.”
Namun demikian, lirik yang relatable itu sama sekali gak jelasin pertanyaan ini. Kenapa para remaja yang kebanyakan masih SMA terus nekat lakuin berbagai hal yang bahayain diri sendiri, meski mengetahui bahayanya?
Kelakuan yang dimaksud misalnya merokok, begadang, kebanyakan konsumsi makanan manis, keenakan sama junk food, atau belanja barang gak dibutuhin. Dan, ini alasannya menurut studi.
Menghadiahi diri sendiri dengan kebiasaan jelek
Coba inget-inget lagi kenapa kebiasaan buruk itu sering dilakuin. Pasti ingatannya berujung pada kegiatan menghadiahi diri sendiri. Misalnya, setelah melalui hari sekolah yang melelahkan lalu merasa boleh menghadiahi diri sendiri dengan junk food, belanja, atau malah merokok.
Atau, saat merasa sedih dan down karena ada masalah (diputusin pacar, misalnya), anak muda cenderung mengobati perasaan itu dengan menghadiahi diri sendiri. Apa hadiahnya? Ya kebiasaan buruk.
Anggapan bahwa kebiasaan itu adalah “obat” dan “hadiah” buat diri sendiri akhirnya merangsang otak ngeluarin hormon dopamine, hormon kebahagiaan. Akibatnya, banyak anak muda ngerasa kalo kebiasaan itu adalah sumber kebahagiaan, kebebasan, atau semacam pegangan.
Coba deh pola pikirnya dibalik. Kalo kebiasaan buruk itu gak dianggap hal positif, otak gak memproduksi dopamine. Hal-hal buruk itu pun nantinya gak bakalan dianggap sebagai kebahagiaan dan lama-lama bisa ditinggalin. Gitu kata riset di neuroscientificallychallenged.com.
Ikuti orang lain
Kebiasaan jelek itu pun sulit dijauhi karena orang-orang di sekitar pada melakukannya. Jalan sedikit ke depan rumah, ada orang merokok. Buka Instagram, isinya foto para seleb yang dibanjiri kemewahan. Mampir ke mall, orang-orang pada jajan junk food.
Hal itu berpengaruh banget pada pola pikir anak muda yang notabene masih dalam tahap mencari jati diri dan kebenaran. Kebiasaan yang seharusnya dihindari malah dianggap lumrah dilakuin.
Pada akhirnya, kalimat-kalimat pembenaran muncul. Kamu pun pasti pernah berpikir macam ini: “Si A sering makan kentang goreng, burger, es krim, dan susu cokelat, tapi tetap langsing, kok!” Kamu kan gak tau setelah itu dia olahraga mati-matian demi pertahankan kelangsingannya.
Terlalu gampang maafin diri sendiri
Manusia pada dasarnya adalah makhluk baik dan pengertian. Saking baiknya, kesalahan yang dilakuin untuk diri sendiri bisa dimaafin gitu aja tanpa ada konsekuensi.
Contohnya, saat kamu gak bisa menahan diri untuk menghabiskan roti bakar dan martabak dengan dua scoop es krim di tempat nongkrong. Kamu sadar harusnya kamu diet, terus kamu langsung memaafkan diri sendiri sambil bertekad untuk gak kalap lagi ke depannya.
Sayangnya, kejadian itu udah berulang berkali-kali sejak kamu bertekad untuk mengurangi porsi makan.
Harus gimana supaya kebiasaan jelek itu hilang?
Klise tapi manjut, kebiasaan jelek cuma bisa dihilangin dengan mengubah pola pikir. Berhentilah menganggap kebiasaan buruk sebagai “penawar” atau “obat.” Kurangi nongkrong di tempat yang ngejerumusin kamu. Dan, terakhir, lebih tegas pada diri sendiri.
Kalo perlu, kasih hukuman macam lari 5 kilometer atau push-up 100 kali tiap kali kamu lakuin kebiasaan buruk itu. (sds)