Selasa, 19 Maret 2024
Ngobrol Bareng

Cakep, Muda, dan Cerdas. Empat Mahasiswa Kedokteran UI Ini Ketagihan Sabet Juara di Perlombaan Riset Internasional

dok. KristianKi-ka: Kristian, Febi, Christine, dan Adriana, empat anak Kedokteran UI yang ketagihan juara. (Sumber: Istimewa)

Genmuda – Kebanyakan mahasiswa melalui tiap hari, tiap semester hingga skripsi dekat sama buku, pesta, dan cinta. Tapi, lain dengan Kristian Kurniawan, Christine Lieana, Adriana V Miranda, dan Fabiola Cathleen yang hidupnya buku, “pesta,” dan lomba.

Empat mahasiswa Kedokteran UI itu toreh prestasi dengan menyabet juara 3 scientific poster ilmiah berisi hasil systematic review tentang “preeklampsia” pada ibu hamil. Kompetisinya diselenggarakan di Nepal, sekitar 21-26 Januari 2018 sebagai rangkaian acara East Asian Medical Students’ Conference (EAMSC).

Di sela kesibukan ngerjain tugas, ujian, tugas, dan ujian lagi, mereka bersedia luangin waktu buat Genmuda.com di pelataran kantin Gedung Rumpun Ilmu Kesehatan UI Depok, Rabu (11/4). Sekalian ngobrol (dan modusin salah satunya), Genmuda.com menggali tentang prestasi internasional mereka.

Genmuda: Halo-halo, Kristian, Christine, Adriana, dan Febi. Selamat, ya dapat juara 3 di Nepal.

Kristian: Sama-sama.

 

Genmuda: Kalian anak kedokteran UI, kok kuliah di kampus Depok bukan di kampus Salemba?

Kristian: Memang. Sekarang, anak-anak kedokteran belajar teori selama sekitar 3-4 tahun di Depok dengan matakuliah yang sudah ditentukan kampus tiap semester. Setelah lulus bagian teori, kami dapat gelar sarjana kedokteran (S. Ked.). Tapi, belum bisa praktik sebagai dokter.

Harus melakukan ko-asistensi terlebih dahulu selama beberapa tahun untuk mendapatkan gelar dokter di depan nama kami. Kegiatan ko-asistensi, atau bisa dibilang magang dilakukan di Salemba.

Febi: Kalau belum ko-asistensi, kami engga bisa jadi dokter beneran.

 

Genmuda: Kalo gitu, apa alasan kalian ikut lomba penelitian di Nepal?

Febi & Adriana: Alasannya, supaya menambah pengalaman kami dan memperbagus curriculum vitae (lembar identitas dan pengalaman yang biasanya dibuat untuk mendaftar pekerjaan, red.).

 

Genmuda: Alasannya realistis banget. Lomba yang diikuti itu lomba apa, sih?

Kristian: Itu sebenarnya bukan sekedar lomba. Di dalamnya, terdapat juga konferensi kedokteran, semacam diskusi ilmiah. Pembicaranya adalah para ahli kesehatan dari negara penyelenggara atau pakar internasional. Pesertanya dari perwakilan mahasiswa kedokteran negara-negara anggota Asosiasi Mahasiswa Kedokteran Asia (AMSA).

Rangkaian acara itu terselenggara dua kali dalam setahun. Salah satunya hanya diikuti perwakilan negara-negara di Asia, sementara satu acara lagi juga diikuti perwakilan mahasiswa kedokteran dari Inggris.

Nah, acara Januari lalu tuh diselenggarakan di Nepal karena negara itu berhasil menekan jumlah angka mortalitas (kematian) ibu hamil hingga tinggal 15 persennya saja. Meski belum mencapai tujuan pembangunan negaranya, itu sudah merupakan prestasi besar dalam dunia kedokteran.

dok. Febri
(Sumber: Istimewa)

Genmuda: Indonesia mengirim berapa perwakilan ke perlombaan itu?

Kristian: Sebenernya, peserta lombanya hanya kami berempat. Jadi, sebelum dikirim ke sana, AMSA Indonesia mengadakan semacam seleksi nasional. Kami mengirimkan hasil penelitian mengenai preeklampsia pada saat seleksi. Penelitian itu pula yang kami lombakan di tingkat internasional.

Adriana: Seleksi nasional berlangsung sekitar November 2017.

 

Genmuda: Terus, karya ilmiah lo mengenai preeklampsia itu sebenarnya ngomongin tentang apa, sih?

Kristian: Orang awam pasti engga pada tahu karena memang jarang diberitakan. Padahal itu termasuk kondisi berbahaya bagi ibu hamil. Orang yang memiliki preeklampsia punya tekanan darah tinggi, pembengkakan pembuluh darah, kemudian ada protein pada urinnya.

Berdasarkan data yang kami temui, jumlah ibu yang meninggal karena preeklampsia di dunia sama dengan satu penumpang jumbo jet setiap hari.”

Gini, deh. Preeklampsia bisa mengakibatkan ibu dan janinnya meninggal. Berdasarkan data yang kami temui, jumlah ibu yang meninggal karena preeklampsia di dunia sama dengan satu penumpang jumbo jet setiap hari.

Jadi, bayangin aja ada satu jumbo jet berisi ibu hamil kecelakaan setiap hari. Membahayakan banget, kan? Itulah sebabnya kami menelisik lebih lanjut mengenai preeklampsia, berusaha mencari penyebab utama dan cara pengobatan terbaik bagi orang-orang Asia, sekaligus memublikasikan hasil penelitian kami supaya kondisi medis itu lebih diperhatikan.

 

Genmuda: Ide penelitiannya berasal dari mana?

Febi: Sebenarnya, itu berasal dari Kristian. Kami sengaja merayunya untuk membimbing penelitian kami. Soalnya, Kristian punya pengalaman ikut konferensi dan lomba tingkat AMSA internasional.

Adriana: Jadi, dia tuh senior kami. Dia angkatan 2015 sementara kami semua angkatan 2016.

Kristian: Hahaha. Iya. Tahun lalu, gue ikut acara yang ada di Korea Selatan dan meraih juara kedua. Juara pertama berasal dari Taiwan tapi lupa kampusnya. Juara ketiganya berasal dari National University of Singapore.

Poster yang kami buat berisi pemaparan ilmiah.”

Genmuda: Lalu, ide pembuatan poster itu bagaimana ceritanya?

Febi: Menurut kami, meletakkan hasil penelitian dalam sebuah poster itu lebih efektif. Tanpa perlu kelelahan membaca berlembar-lembar makalah penelitian, tiap orang bisa memperoleh informasi lewat satu lembar poster.

Akan tetapi, itu bukan poster semacam poster imbauan atau tutorial mencuci tangan seperti yang ada di rumah sakit. Bukan. Poster yang kami buat berisi pemaparan ilmiah. Unsur desain bukanlah sesuatu yang kami kedepankan dalam poster itu.

 

Genmuda: Lawan terberat dalam lomba itu tuh dari negara mana aja?

Kristian: Sebenernya, tiga besar tahun ini sama dengan tiga besar tahun lalu, yaitu Taiwan, Indonesia, dan Singapura. Taiwan tetap jadi juara satu. Sementara itu, kami dari Indonesia harus rela disalip Singapura yang tahun ini juara dua.

 

Genmuda: Kok kesalip, sih?

Febi: Mungkin karena jenis penelitian kami. Dalam dunia kedokteran, penelitian jenis systematic review (semacam studi pustaka bagi anak ilmu sosial dan ilmu budaya) berada di bawah penelitian langsung, setidaknya penelitian yang mendapatkan data primer.

Data-data penelitian kami diperoleh dari penelitian yang sudah ada sementara data perwakilan Taiwan dan Singapura diperoleh dari data langsung.

 

Genmuda: Jadi, apa sebabnya kalian tidak meneliti data real di lapangan?

Christine: Datanya tidak ada. Kami berusaha mencari-cari dari pusat data atau dari BPS. Tapi, data mendetil tentang preeklampsia tidak bisa kami temui. Itu bukan kali pertama, melainkan sudah berkali-kali. Lain dari Nepal, Taiwan, atau Singapura yang punya data lebih mendetil.

 

Genmuda: Bukannya Kementerian Kesehatan selalu menerbitkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tiap beberapa tahun sekali?

Kristian: Memang. Namun, data di situ masih terlalu umum. Tidak bisa dipakai untuk penelitian kami karena kami butuh data yang sangat detil. Misalnya, tentang usia penderita preeklampsia.

Itulah sebabnya kami hanya mampu mengumpulkan data-data dari penelitian terdahulu kemudian mengompilasikannya.

 

Genmuda: Berapa lama kalian melakukan penelitian kompilasi itu?

Adriana: Sekitar dua bulanan aja, kok. Itu termasuk cepat mengingat kami punya segudang tugas, ujian, tugas, ujian, tugas, ujian, dan kegiatan organisasi mahasiswa kedokteran setiap minggunya.

 

Genmuda: Banyak banget tugas dan ujiannya, deh?

Kristian: Kayaknya, semua anak kedokteran akan merasakan itu, deh. Gue pribadi malah sampai engga punya waktu untuk ngapa-ngapain lagi. Setiap minggu tuh jadwal kami terjadwal dan padat banget.

Gue tuh berangkat pagi dari jam 7.00 pagi kemudian sampai sore jam 16.00. Sudah gitu, istirahat siangnya benar-benar satu jam. Satu jam aja, loh! Kayak orang kerja aja.

Belum selesai sampai di situ, kami masih harus ngerjain tugas di kosan atau belajar atau ngerjain kegiatan organisasi kedokteran sampai malam. Dan, engga mungkin begadang juga karena besoknya pasti keteteran.

Christine: Makanya, sejujurnya, suka agak iri melihat mahasiswa jurusan lain yang kuliahnya kok masih bisa sambil senang-senang sementara kami kayak digenjot habis-habisan.

 

Genmuda: So, menyesalkah jadi mahasiswa kedokteran?

Christine, Adriana, Febi, dan Kristian: Enggak!

 

Genmuda: Di antara kesibukan itu, gimana cara bagi waktu untuk kehidupan pribadi, misalnya percintaan?

Christine, Febi, dan Kristian: Engga bisa bagi waktu. Kami semua jomblo.

Adriana: Cuma gue doang yang punya pacar. Itupun pacarnya teman sekelas. Hehehe.

 

Genmuda: Pengen kepo lagi, nih. Kriteria pacar idaman kalian tuh seperti apa?

Adriana: Gue pasti mau cowok yang engga posesif. Seenggaknya, dia bisa memahami kesibukan padat gue sebagai mahasiswa kedokteran.

Kristian: Kalau gue, maunya sama cewek yang bisa menikmati hidup. Saat bertemu doi, maunya engga ngomongin tugas, rumus, atau hal lain yang berhubungan sama kuliah. Sudah, lah! Gue muak kalau harus ngomongin hitung-hitungan dan teori kedokteran bahkan saat pacaran.

Febi: Selera cowok gue mirip kayak Kristian. Maunya yang pengertian aja.

Christine: Kalau gue, merangkum ketiganya aja.

 

Genmuda: Apa sih trik khusus yang bisa lo kasih tau buat para mahasiswa terkait cara memperoleh tema penelitian?

Kristian: Gampang aja. Tema penelitian engga usah ribet-ribet. Lihat dari sekitar kita aja. Misalnya, gini. Lo suka nasi goreng. Kenapa engga bikin penelitian mengenai dampak memakan nasi goreng terhadap pengidap tekanan darah tinggi? Kayaknya, penelitian itu belum ada hasilnya.

“Penelitian tentang efek nasi goreng terhadap kesehatan itu menarik.”

Eh, jangan salah, loh. Penelitian tentang efek nasi goreng terhadap kesehatan itu menarik. Soalnya, ada salah satu penelitian yang berusaha menelisik penyebab orang-orang asing selalu diare saat kali pertama mencoba nasi goreng di Indonesia.

Christine: Berdasarkan penelitian itu, ada satu bakteri unik yang hanya hidup di nasi goreng.

Febi: Makin nasi gorengnya dipanaskan ulang, justru jumlah bakteri itu makin banyak.

Adriana: Orang Indonesia relatif kebal sama bakteri itu karena sudah makan nasi goreng sejak kecil.

dok. Febri
(Sumber: Istimewa)

Genmuda: Gue bisa melihat segitu besarnya passion kalian pada bidang riset kedokteran, nih. Setelah lulus dan jadi dokter nanti, masih pada mau riset engga?

Adriana: Gue sih memang bercita-cita jadi dokter riset gitu, loh.

Kristian: Setelah lulus ko-asistensi dan dapat gelar doktor, pasti lanjut meneliti lagi.

Febi: Sejujurnya, gue ingin fokus kerja dulu. Setelah jadi dokter, mau lanjut kuliah supaya jadi spesialis. Dengan pengalaman dan ilmu yang lebih melimpah, pasti gue bisa hasilkan penelitian yang lebih berkualitas.

Christine: Itu sih engga usah ditanya lagi. Aku ingin terus meneliti. Soalnya, aku punya satu prinsip. Bekerja sebagai dokter di rumah sakit atau klinik memang bisa menyelamatkan puluhan nyawa setiap hari. Namun, mengerjakan riset kedokteran akan menyelamatkan lebih banyak nyawa bahkan setelah engga jadi dokter lagi.

Soalnya, penelitian itu akan mengembangkan ilmu kedokteran secara keseluruhan dan memperbaiki cara mengobati orang-orang.

 

Genmuda: Sekarang, bagi-bagi tips buat anak SMA, dong. Gimana sih cara lo pada ngerjain soal seleksi masuk perguruan tinggi dulu?

Adriana: Karena gue anaknya hitung-hitungan banget, gue menentukan paling engga mengerjakan dengan benar 13 soal tiap mata pelajaran. Makanya, belajar mati-matian dan punya target belajar. Misalnya, dalam waktu sebulan sudah harus memahami betul beberapa materi.

dok: Kristian
(Sumber: Istimewa)

Febi: Gue sama kayak Adriana. Gue punya target belajar. Bedanya, target gue adalah belajar sampai beberapa jam setiap hari. Target belajar itu harus terpenuhi.

Christine: Gue sama kayak Febi. Gue juga ikut bimbingan belajar di luar sekolah supaya lebih paham materinya.

Kristian: Sebenernya, pesan gue cuma satu. Belajar dan mengerjakan soal lah sesuai cara masing-masing. Lain dari Adriana, gue engga punya target harus ngerjain minimal 13 soal tiap mata ujian.

Gue kayaknya engga ngisi banyak soal matematika-IPA karena susah banget. Tapi, gue memenuhi jawaban mata ujian lain, terutama Biologi, pelajaran yang gue suka banget.

Febi: Iya bener, tuh. Mata ujian Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris harus banget dipenuhi karena sayang banget. Itu kan semacam “ujian bonus.”

 

Genmuda: Apa komentar kalian semua terhadap orang yang bilang kalau anak kedokteran itu nerd semua, engga gaul karena belajar mulu?

Kristian: Gue cuma bisa bilang, kalo gue adalah calon menantu idaman. Hahahaha.

Christine: Memang nerd. Mau gimana lagi, dong. Untuk nongkrong aja tidak bisa sama sekali. Tapi, itu yang memang harus kami lalui untuk jadi dokter. Loh, jadi curcol, kan….

 

Genmuda: Lalu, bagaimana kerja pemerintah terhadap pengembangan dunia riset dan kedokteran?

Christine: Soal riset, gue sangat menyayangkan bahwa pemerintah Indonesia sangat minim data. Sekalinya ada, sulit untuk memperolehnya. Padahal, data-data itu sangat berguna untuk mengembangkan penelitian sekaligus menekan biaya penelitian ilmiah.

Kristian: Dari segi kedokteran, gue rasa pemerintah sudah berada pada jalur yang tepat dengan mengeluarkan kebijakan asuransi kesehatan seperti BPJS Kesehatan. Kebijakan itu mirip di Nepal. Tiap ibu hamil di Nepal bisa melahirkan di rumah sakit pemerintah dengan biaya 1 USD, loh.

Satu pesan gue buat kebijakan itu, Pemerintah atau pihak terkait sebaiknya jangan buru-buru mengubah haluan kebijakan. Biarkan segala fasilitas penunjangan atau asuransi kesehatan itu berlangsung minimal 5 tahun supaya hasilnya terlihat. Setelah itu, baru evaluasi untuk diperbaiki kekurangannya.

 

Genmuda: Dalam waktu dekat, bakalan ikut lomba penelitian apa lagi?

Adriana, Christine, dan Febi: Kami sedang melakukan seleksi nasional untuk memilih perwakilan ke ajang Konferensi AMSA kedua tahun ini di Malaysia. Hehehe.

Kristian: Bedanya, sekarang kami berbeda tim.

 

Oke, lah. Genmuda.com doakan ada semacam keajaiban yang menyebabkan empat tim kalian bisa lolos sebagai perwakilan Indonesia ke konferensi mahasiswa kedokteran internasional itu. Buat Kawan Muda dan semua mahasiswa kedokteran di Indonesia, semoga cepat jadi dokter!!!

Comments

comments

Charisma Rahmat Pamungkas
Penulis ala-ala, jurnalis muda, sekaligus content writer yang mengubah segelas susu cokelat hangat menjadi artikel.