Kelakuan ‘Minus’ yang Kemungkinan Besar Kamu Lakuin saat Dateng ke Pameran Seni (Dan Cara Menghindarinya)
Genmuda – Pameran seni makin lama makin banyak jumlahnya, baik yang nampilin karya seniman senior ataupun pendatang baru. Gak cuma di dalam galeri, pameran seni jaman sekarang juga berlangsung di ruang publik, lobi pusat perbelanjaan, hotel, cafe, taman, hingga media sosial.
Generasi muda yang menikmati pameran offline pun makin banyak jumlahnya. Hanya aja, gak semuaya paham etika yang harus dimiliki untuk menikmati sebuah pameran. Sehingga, kebanyakan pengunjung pameran jadi keliatan norak atau malah ngerusak sebuah karya pameran tanpa sepengetahuannya.
Misalnya aja, seperti yang terjadi di berbagai kesempatan. Karya pameran hanyalah jadi background foto nyeni untuk menghasilkan foto yang “instagrammable.” Malah, ada juga pengunjung yang tega memegang, menginjak, hingga corat-coret karya pamerannya.
Dalam acara gathering seniman bertajuk PechaKucha di Jakarta, Selasa (22/8), tujuh narasumber sampaikan pengalaman mereka menghadapi aneka macam kelakuan para pengunjung pameran dan penikmat seni di dunia digital. Di bawah ini adalah pendapat masing-masing.
1. Safrie Effendi: Ikuti petunjuk pameran
DJ yang juga merupakan Art Manager Artotel ini bilang kalo para pengunjung pameran tuh harusnya patuhi petunjuk. “Aku biasanya bikin semacam booklet salah satunya berisi tata cara menikmati pameran. Ada dos and don’ts nya. Kalau diminta menikmati karya dari kiri ke kanan, lakukan itu. Jangan sebaliknya,” tutur Safrie.
Safrie pengen banget kalo pengunjung pameran patuh sama imbauan itu supaya karya pameran bisa dinikmati dengan sepenuhnya tanpa rusak. Soalnya, menurut doi, karya-karya yang masuk pameran tuh merupakan karya pilihan yang jauh lebih bernilai daripada karya biasa yang hanya berakhir di media sosial.
2. Kendra Ahimsa: Jangan memindahkan karya
Senada dengan Safrie Effendi, cowok yang pernah bikin artwork album untuk Rafi Muhammad “Art of Tree” dan band psychedelic Jepang Kikagaku Moyo ini menyarankan pengunjung pameran untuk perhatiin anjuran-anjuran. “Anjurannya tertulis kok di kertas dan biasanya terpampang di dekat karyanya,” tutur Kendra.
Kalo anjurannya jangan disentuh, ya jangan disentuh dalam bentuk apapun. “Gue pernah denger cerita kalo sampai ada pengunjung pameran menurunkan sebuah karya yang digantung hanya karena merasa karya itu engga cocok sama foto OOTD dia. Gue yang denger aja miris, apa lagi kurator yang ngeliat langsung,” katanya.
3. Atreyu Moniaga: Corat-coret itu merusak
Mirip-mirip sama dua seniman di atas, Atreyu pun minta para pengunjung pameran untuk patuhi anjuran. Cowok yang juga merupakan bintang iklan salah satu merk rokok ini pun bilang kalo corat-coret merupakan tindakan paling norak. “Jangankan karya seni. Sembarangan corat-coret tembok aja gak bener, kan,” ujarnya.
Doi juga bilang kalo pengunjung pameran tuh baiknya engga menikmati karyanya dalam diam, tapi juga berinteraksi langsung sama senimannya kalo emang lagi ada di lokasi. Jadiinya, pengunjung bisa lebih memahami makna di balik karya dan senimannya dapat masukan langsung.
4. Wangsit Firmantika: Likes di medsos hanyalah angka semata
Seniman yang selalu nampil karya warna-warni terpengaruh budaya kawaii Jepang ini sependapat sama Atreyu. Bagi doi, interaksi langsung dengan seniman itu cara paling ampuh untuk mengapresiasi. “Karena, likes hanyalah tombol, jumlah follower hanyalah angka, dan komentar hanyalah kata-kata,” tuturnya.
Doi kemudian cerita pengalamannya disamperin sepasang suami-istri dalam pameran bertajuk gender. “Mereka mengutarakan pendapat mereka secara langsung. Saya senang sekali karya saya jadi sebuah dialog. Saya yakin pesan karya saya sampai karena mereka datang langsung. Bukan hanya melihatnya lewat medsos,” tutur Wangsit.
5. Nin Djani: Antusiasme online tak sebanding dengan offline
Kurator Suar Artspace ini bilang kalo respon netijen terhadap sebuah karya di media sosial tuh bisa menipu. “Postingan poster undangan pameran Suar Artspace pernah dapat likes ratusan. Ketika hari pembukaan, ternyata pendatangnya hanya tiga atau empat orang. Hanya bisa dihitung jari,” tuturnya.
Doi sih jelas berharap kalo antusiasme yang netijen tunjukin di medsos tuh juga dilaksanain secara nyata dengan cara mengunjungi pamerannya.
6. Evelyn Huang: Selfie boleh. Tapi jangan cuma selfie.
Kurator independen ini sebenernya masih miris loh sama kelakuan pengunjung pameran yang jadiin karya seni hanya sebagai background nyeni untuk selfie. “Tapi, ya mau bagai mana lagi. Masih dalam tahap seperti itulah mentalitas pengunjung pameran Indonesia yang kebanyakan generasi muda,” tutur Evelyn.
7. Thepopo: Karya gue paling populer diliat dari jumlah tapak sepatu pada temboknya
Hobi selfie itu yang kadang bikin para pengunjung pameran gak liat-liat situasi-kondisi. Seniman bernama asli Ryan Riyadi itu menyindir secara halus orang-orang yang biasa menapaki satu kaki ke tembok belakang ketika berfoto sambil nyender di tembok.
“Gue pernah pameran mural di salah satu ruang di galeri. Dari jumlah tapak sepatu di temboknya, karya gue yang paling populer dari karya-karya lain,” tutur Thepopo sambil nyengir.
Intinya, pengalaman para seniman di atas mungkin jadi pengalaman dan pesan buat kamu sebelum dateng ke sebuah pameran seni. Menghargai karyanya gak perlu selfie. Tanya dan diskusi sama senimannya itu lebih keren, loh! (sds)