Review Film ‘Mufasa: The Lion King’, Asal Usul Sang Raja yang Penuh Drama dan Petualangan
Genmuda – Kawan Muda, Disney balik lagi dengan proyek nostalgia super ambisius lewat Mufasa: The Lion King. Film ini jadi bukti kalau mereka masih semangat mengeruk kisah klasik ini. Tapi kali ini, alih-alih remake, Disney mencoba menghadirkan prekuel tentang asal-usul Mufasa. Dibuka dengan penghormatan untuk James Earl Jones, pengisi suara legendaris Mufasa, film ini punya cara cerdas buat mengisi kekosongan tanpa menggantikan suara ikonik tersebut.
Disutradarai Barry Jenkins (Moonlight, The Underground Railroad), Mufasa: The Lion King membawa vibe yang beda dari The Lion King live-action-nya di 2019. Cerita dimulai dengan kilas balik dari Rafiki (John Kani) yang sedang bercerita ke Kiara (Blue Ivy Carter) soal perjalanan kakeknya, Mufasa, menuju takhta Pride Rock. Cerita ini jadi bingkai utama film, dengan flashback penuh drama dan petualangan.
Masa Kecil Mufasa yang Berat
Film ini membawa kita ke masa kecil Mufasa (Braelyn Rankins) yang terpisah dari keluarganya gara-gara banjir deras. Sendirian, dia harus bertahan hidup di alam liar sampai akhirnya bertemu dengan Eshe (Thandiwe Newton) dan keluarganya. Di sini, Mufasa berteman dengan Taka (alias Scar, suara Theo Somolu). Walaupun ayah Taka, Obasi (Lennie James), nggak suka ada pendatang, hubungan dua anak singa ini justru erat banget.
Cerita makin kompleks saat Mufasa remaja (Aaron Pierre) mulai menunjukkan bakat kepemimpinannya. Dia berhasil menyelamatkan Obasi dari ancaman singa putih jahat bernama Kiros (Mads Mikkelsen). Tapi dari sinilah persahabatan Mufasa dan Taka mulai retak. Taka merasa nggak bisa bersaing dengan pesona Mufasa yang makin bersinar.
Film ini nggak kasih kita waktu buat bernapas. Petualangan Mufasa dan Taka penuh aksi: menghindari gajah, mendaki gunung, sampai bertahan di cuaca salju yang bikin kita mikir, “Masa iya singa sampai ke gunung es?” Nah, Di tengah perjalanan, mereka bertemu Sarabi (Tiffany Boone), yang menambah drama hubungan Mufasa dan Taka. Nggak ketinggalan, Rafiki versi muda (Kagiso Lediga) dan Zazu (Preston Nyman) ikut meramaikan perjalanan ini.
Selain aksi, Mufasa: The Lion King juga menyajikan momen-momen emosional. Ada adegan romantis ketika Mufasa mencoba menyelamatkan Sarabi, yang bikin kita makin paham kenapa dia layak jadi raja.
Visual, Musik, dan Komedi yang Nggak Main-Main
Visualnya gimana? Luar biasa. Teknik CGI-nya bikin semua terlihat realistis, dari ekspresi karakter sampai lanskap alamnya. Barry Jenkins berhasil membawa sentuhan sinematik khasnya ke dunia Disney tanpa kehilangan elemen hiburan keluarga.
Dari sisi musik, Lin-Manuel Miranda jadi otak di balik tujuh lagu baru. Beberapa standout track termasuk “I Always Wanted a Brother” yang catchy, “We Go Together” yang manis, dan “Ngomso” dari Lebo M yang powerful. Jadi antara alur dan lagunya beneran ngalir, alias gak sekedar ada macam Moana 2.
Timon (Billy Eichner) dan Pumbaa (Seth Rogen) juga balik dengan komedi khas mereka yang bikin kita ketawa di tengah-tengah drama. Chemistry mereka tetap juara, meski bagian ini kadang terasa seperti “pelarian” dari cerita utama.
Kesimpulan
Mufasa: The Lion King mungkin nggak punya kesan timeless kayak film The Lion King pertama, tapi ini tetap jadi tontonan seru buat Kawan Muda. Cerita asal-usul Mufasa dikemas dengan aksi nonstop, visual memukau, dan lagu-lagu yang menyenangkan. Kalau kamu penggemar The Lion King atau sekadar penasaran sama prekuelnya, film ini layak masuk watchlist kamu.
Ceritanya emosional, penuh aksi, tapi tetap ada ruang buat tawa. Overall, Mufasa membuktikan bahwa perjalanan menjadi raja nggak pernah mudah, tapi penuh pelajaran hidup yang berharga.