Review ’28 Years Later’, Bukan Sekadar Film Zombie Biasa!
Genmuda – Setelah lebih dari dua dekade sejak 28 Days Later (2002) dan 28 Weeks Later (2007), akhirnya Danny Boyle dan Alex Garland comeback bareng buat ngasih lanjutan yang udah ditunggu-tunggu para penggemar: 28 Years Later. Ekspektasi tinggi jelas ada, tapi bukannya sekadar nostalgia, film ini malah ngebut ke arah yang jauh lebih gelap, emosional, dan unpredictable. Berikut ulasannya!
Dari Teletubbies ke horor

Film ini dibuka dengan adegan yang disturbing banget, sekelompok anak kecil dikumpulin dalam satu ruangan kecil di sebuah pulau terpencil di Skotlandia sambil nonton Teletubbies. Ironisnya di luar sana virus Rage kembali mengganas.
Salah satu anak yang bernama Jamie nekad membuka pintu dan situasi pun bikin merinding. Dari momen itu aja udah keliatan kalau 28 Years Later bukan main-main. Lalu, kita langsung dibawa lompat 28 tahun kemudian ke kehidupan Jamie dewasa (Aaron Taylor-Johnson) dan anaknya yang masih 12 tahun, Spike (Alfie Williams).
Jamie bangunin Spike buat memulai semacam upacara peralihan ke dewasa. Tapi ini bukan perayaan biasa, melainkan misi ke daratan tempat virus dan para terinfeksi masih jadi ancaman nyata.
Di komunitas tertutup mereka, setiap orang punya tugas dan aturan keras: “Kalau lo keluar, dan nggak balik, nggak akan ada yang nyariin lo.” Kejam, tapi masuk akal dalam dunia yang udah kehilangan struktur sosial.
Jamie pun ngajak Spike untuk memburu ‘the infected’ sebagai bagian dari pelajaran hidup, karena kalau gak tega ngebunuh, ya siap-siap jadi korban. Namun pengalaman ini justru memberikan POV baru buat Spike yang baru pertama kali melihat dunia yang udah kacau balau. Penasaran kan seperti apa?
Alur, editing, dan scoring rapih

Boyle masih jadi master dalam ngegabungin suasana ngeri dan editing cepat ala Trainspotting dengan citra visual yang puitis sekaligus brutal. Salah satu sequence paling mencolok nggabungin footage mengerikan dari para terinfeksi yang nyerang hewan ternak dengan video dokumenter tentara Inggris semuanya dibungkus dengan puisi Rudyard Kipling “Boots” yang makin lama makin intens.
Ya, bukan cuma seram, tapi juga reflektif. Di sinilah kekuatan film ini muncul: horornya bukan cuma dari zombie, tapi dari sisa-sisa kemanusiaan yang udah kehilangan arah.
Masuk ke pertengahan film, 28 Years Later muter haluan total. Jamie dan Spike bukan lagi sekadar peserta misi survival, tapi simbol perbedaan generasi: yang satu dibentuk trauma masa lalu, yang satu lahir di dunia yang udah rusak dari awal.
Spike ngerasa ada cara lain buat bertahan hidup, tapi Jamie terlalu keras kepala untuk ngelihat alternatif. Ketegangan antara mereka bikin plot makin emosional, karena ini bukan cuma soal ngebunuh atau mati, tapi soal pilihan moral di tengah dunia yang gak lagi punya kompas etika.
Alfie Williams yang jadi Spike bisa dibilang jadi jantung emosional film ini. Wajah polosnya penuh rasa takut, jijik, marah, dan kesedihan dalam satu waktu. Aktingnya natural banget, dan interaksinya dengan Aaron Taylor-Johnson terasa hangat sekaligus tragis.
Jodie Comer juga tampil keren sebagai Isla, ibu Spike yang mentalnya labil tapi jadi karakter yang kompleks dan sulit ditebak. Tambahan Ralph Fiennes sebagai Dr. Kelson ngasih lapisan baru di babak akhir, dan kehadirannya sukses mencuri perhatian dengan vibe sinis sekaligus filosofis.
Kesimpulan

Yang bikin film ini makin kuat adalah keberaniannya untuk gak ngasih semua jawaban. Ending-nya sengaja ngegantung karena sekuel berikutnya kabarnya udah kelar syuting.
Tapi alih-alih nyebelin, keputusan ini bikin rasa penasaran makin jadi. 28 Years Later berhasil nunjukin bahwa horor bisa jadi alat buat ngulik sisi gelap manusia dari rasa takut, putus asa, sampai pilihan-pilihan yang gak ada bener-salahnya.
Film ini bukan cuma sekuel yang layak, tapi juga salah satu karya horor terbaik tahun ini. Ia ngasih sensasi ngeri yang real dan grounded. Tonton dulu aja trailernya di bawah ini!