Jum'at, 29 Maret 2024

Genmuda – Setelah berkobar-kobar antara 29 Juni hingga 3 Juli, akhirnya perdebatan penuh emosi soal #BoikotStarbucks mereda, Selasa (4/7). Kepala mulai dingin dan hati gak ngotot lagi. Berarti, saatnya ngeliat kejadian yang terbilang unik itu dari sudut pandang lebih objektif.

Kasusnya dilatarbelakangi seruan CEO Starbucks, Howard Mark Schultz ngedukung hak LGBT dan pernikahan satu kelamin. Sebenernya, doi udah mendeklarasikannya sejak beberapa tahun lalu, tapi gaung lagi baru-baru ini karena ucapan galak doi.

A post shared by Komik Faktap (@komikfaktap) on

Orang-orang yang gak setuju hak LGBT diminta jauh-jauhin Starbucks. Para pemegang saham diminta beli saham lain dan pelanggan setia diminta gak usah jajan di 20.336 gerainya di seluruh dunia. Galak amat, bosque. Jadi inget George W Bush dan Hitler, nih (Bukan karena mereka pro LGBT, tapi karena mereka ‘galak’).

Khawatir CEO yang bersemangat itu sisihkan keuntungan Starbucks demi legalin LGBT dan perkawinan sejenis, organisasi religius dan simpatisan yang anti hubungan sejenis pada ngomel. Di Indonesia, banyak orang bereaksi lewat hashtag #BoikotStarbucks dengan alasan gak sesuai etika dan undang-undang di Indonesia.

Misalnya–ini misalnya aja loh–gerai yang ngejual kopi-tapi-kayak-es-krim itu pada akhirnya beneran diboikot negara dan permasalahan boikot-boikotan ini terus diomongin, ini plus-minus yang bakalan muncul.

Minus

1. Starbucks makin tenar

via tumblr.com

Sorimayori nih, gengs. Sejarah Indonesia tuh nunjukin kalo segala sesuatu yang diboikot justru makin tenar karena sukses bikin orang penasaran. “Kenapa sih kok dilarang-larang?” Contohnya, buku-buku Pramoedya Ananta Toer bagi mahasiswa jaman Orde Baru. Kalo mau dibikin gak laku, ya cuekin aja kayak kamu nyuekin mantan yang selalu berkoar-koar di medsos. Lama-lama doi capek sendiri dan hilang dari kehidupan kamu, kan?

2. Susah hidup modern

Dengan ngeboikot Starbucks, kamu udah nentuin sikap. Jadi, jangan nanggung karena orang-orang bakal berharap kamu juga ngeboikot perusahaan lain pendukung LGBT. Misalnya, Microsoft, Apple, Google, Adidas, Nike, Dell, Coca-Cola, Ebay, Symantec, Unilever, Xerox, dan merk-merk lain yang erat sama kehidupan modern. Sulit, ya.

3. Gak bisa nongkrong di tempat strategis

via tenor.com

Gak bisa dipungkiri lagi, Starbucks terletak di lokasi-lokasi strategis dan enak dijadiin tempat ketemuan. Dengan gak nongkrong di Starbucks, kamu jadi buang lebih banyak waktu saat nentuin tempat ketemuan.

4. Susah WiFi gratis

Gak usah jaim, deh. WiFi gratis udah jelas jadi daya tarik toko kopi yang berdiri tahun 1971 itu. Karena anti Starbucks, sekarang kamu gak bisa lagi numpang WiFi berjam-jam di tempat ber-AC hanya dengan modal segelas kecil kopi (bukan berdasarkan pengalaman pribadi).

Plus

1. Toko kopi lokal bermunculan

via tenor.com

Karena Starbucks keluar dari persaingan, toko-toko kopi lokal banyak bermunculan. Ada Starbucks aja para barista udah berani kok buka gerai, gimana kalo gak ada Starbucks. Salah satu gerai kopi lokal itu mungkin berdiri dekat tempat tinggal. Nongkrong cakep kekinian jadi gak usah jauh-jauh lagi, deh.

2. Bener-bener kenal kopi

Sorimayori lagi nih, gaes. Minuman yang dijual Starbucks tuh lebih mirip es krim daripada kopi. Dengan diboikotnya perusahaan berpendapatan 19,2 miliar dolar AS itu, seluruh anak muda gaul di Indonesia (bahkan di dunia) punya kesempatan kenal kopi panas dan es kopi yang sesungguhnya dari cafe lain.

3. Makin irit

via reactiongifs.com

Bagaimanapun juga, diboikotnya Starbucks bikin kantong anak-anak gaul relatif lebih irit. Tak perlu lagi jajan kopi mahal karena di kedai kopi lokal harga menu-menunya jauh lebih murah.

4. Para kru Filosofi Kopi mungkin lagi kesenengan

Segala debat kusir tentang dunia perkopian ini udah pasti bikin produser, pemain, dan kru film “Filosofi Kopi 2” kegirangan. Hype tentang kopi lagi tinggi-tingginya, sehingga mereka bisa dengan amannya promosiin film keren bertema dua sahabat yang pengen buka kedai kopi lokal kekinian.

Kalo kamu perhatiin, plus-minus di atas sama sekali gak ngebahas soal LGBT atau cinta sesama jenis. Memang sengaja. Karena, hubungan cinta penulis artikel ini aja udah kusut kayak bola wol habis dicakar-cakar anak kucing. Jadi, doi terlalu males ngurus percintaan orang lain. Obatin, dong. #yagitu. (sds)

Comments

comments

Charisma Rahmat Pamungkas
Penulis ala-ala, jurnalis muda, sekaligus content writer yang mengubah segelas susu cokelat hangat menjadi artikel.