Jum'at, 29 Maret 2024

Genmuda – Kawan Muda yang senang beli album rilisan fisik saat ini mungkin sedang kalang kabut karena Disc Tarra kabarnya akan menutup puluhan gerainya. Namun demikian, penutupan salah satu toko musik terbesar di Indonesia itu sebenarnya berpengaruh signifikan engga sih?

Disc Tarra kemungkinan akan menutup hingga 40 gerai di beberapa kota dan hanya menyisakan sekitar 8 gerai yang semuanya berlokasi di Jakarta terhitung akhir tahun ini. Hal tersebut tentu sangat disayangkan mengingat Disc Tarra pernah memiliki hingga lebih dari 100 gerai pada masa jayanya.

FYI, engga bisa diungkiri kalau beberapa tahun belakangan ini minat masyarakat untuk membeli album rilisan fisik (CD dan DVD) semakin menurun. Kemerosotan itu antara lain didukung oleh maraknya aksi pembajakan dan adanya peralihan ke era digital.

Disc Tarra pun bukanlah toko musik pertama yang akhirnya menutup sejumlah gerainya di Tanah Air karena terdesak perkembangan zaman. Retail musik Aquarius Mahakam telah lebih dulu ditutup pada tahun 2013 dan toko musik Duta Suara pun telah menutup gerai-gerainya secara bertahap di tahun ini.

Lantas, kembali ke pertanyaan awal, penutupan Disc Tarra dan toko musik besar sejenis sebenarnya berpengaruh banget engga sih? Kalau iya, kenapa dan buat siapa saja? Apakah kamu juga termasuk salah satu yang merasakan pengaruhnya tersebut?

Well, buat kamu para pecinta rilisan fisik, kamu pasti tipe yang senang kalau bisa beli secara langsung, memegang barangnya, melihat desain sampul albumnya, dan semacamnya. Penutupan toko musik besar pun membuat kamu seakan merasa dibatasi untuk menikmati hasil karya idola kamu.

Kamu yang jauh lebih idealis mungkin juga engga bakal mau untuk membeli album idola kamu di restoran ayam cepat saji. Kok bisa beberapa potong ayam jadi iming-iming untuk menjual sekeping CD yang isinya dibuat dengan (mungkin) bermandi keringat dan darah? Shit happens, but that’s marketing.

Namun demikian, kiamat kamu itu bukan berarti turut menjadi kiamat bagi industri musik Tanah Air. Sebagaimana diakui pengamat musik Bens Leo kepada Okezone, Rabu (4/11), tutupnya toko musik besar sesungguhnya sudah menjadi bagian dari “siklus”.

Masih diminatinya album fisik (piringan hitam) yang kembali ngehits di kalangan anak muda dan kolektor musik. (foto: https://sinistersaladmusikal.files.wordpress.com)

Pernyataan Bens Leo pun tentu sangat masuk akal. Coba deh kamu perhatiin, piringan hitam atau vinyl dulu sempat hits lambat laun digantikan oleh kaset, CD, dan format digital. Siapa sangka, belum lama ini piringan hitam kembali diminati di AS maupun Inggris, dan bahkan mulai diminati di Indonesia.

Bukan cuma itu, Arian, vokalis Seringai, juga sempat berkicau di Twitter-nya, Kamis (5/11), perihal pengaruh pengaruh penutupan Disc Tarra bagi para musisi indie. Menurut info yang diperolehnya, masih ada banyak tempat di mana para musisi indie dapat menjual album-album mereka.

“Kalau menurut info distributor, Disc Tarra menutup banyak gerai engga banyak pengaruh buat band independen. Penjualan album-album independen juga banyak melalui outlet-outlet alternatif dan juga online order,” kata Arian.

So, lagi-lagi pada akhirnya kamu, kita, dan semua orang lainnya yang mengaku peduli pada industri musik harus bisa lebih menyesuaikan diri untuk dapat mengikuti perkembangan zaman. Untuk saat ini, biarlah streaming dan download yang menunjukkan sejauh apa pengaruhnya pada industri musik.

Tapi, kalau sebagai pecinta rilisan fisik kamu masih juga engga mau atau gengsi buat beli di restoran ayam cepat saji, itu balik lagi terserah kamu. Karena pada akhirnya telinga, jiwa, dan rasa yang akan berperan dalam menentukan kualitas musik. Apapun bentuknya, musik bagus akan abadi. (sds)

Comments

comments

Gabrielle Claresta
Eccentric daydreamer