Genmuda – Film Black Panther diberi nilai nyaris sempurna di berbagai media. Skor Rotten Tomatoes nunjukin angka 97% sementara para kritikus di Metacritic berbahagia ngasih skor 87%.
Washington Post, 9 Februari sampai bilang kalo film yang konfliknya berpusat pada harta dan takhta itu sebanding sama karya sastrawan legendaris, Shakespeare. Sepakat sama pendapat itu, film besutan Sutradara Ryan Coogler emang cocok jadi wiracarita alias epos Kerajaan Wakanda.
Di Indonesia, kisahnya sebelas-dua belas kayak Wiracarita Ramayana, Mahabharata, atau Hikayat Hang Tuah. Di Eropa, film kedelapan belas Marvel Studios itu terasa kayak Epos Achilles atau King Arthur.
Misi untuk raja baru
Filmnya dimulai gak jauh setelah tewasnya Raja T’Chaka (John Kani) dalam pertemuan PBB di “Civil War” (2016). Anak T’Chaka, T’Challa (Chadwick Boseman) pulang bersama rombongannya dan langsung menjalani upacara penobatan sebagai raja di hadapan suku-suku Wakanda.
Misi pertama sebagai raja baru langsung dateng. Yaitu, menangkap hidup-hidup Ulysses Klaue (Andy Serkis) sang perampok vibranium. Doi pengen ngejual mineral kunci kemajuan teknologi Wakanda yang berasal dari batu meteor ribuan tahun lalu itu ke pembeli termahal.
Dalam misinya, tim T’Challa bertemu agen CIA sekaligus mantan pilot militer terbaik AU, Everett Ross (Martin Freeman). Mulai dari situ, kejutan kecil, kejutan besar, cerita sedih, cerita lucu, dan pastinya kisah heroik mengisi “Black Panther” sampai menit ke 134.
Modern tapi masih kaya budaya
Tim artistik, penulis naskah, sutradara atau siapapun yang sumbang ide buat film ini harus diacunig 1.576.934.587 jempol (atau lebih) karena berhasil ciptain budaya Wakanda yang kental berpadu sama penampakan modernisasi di Afrika.
Kostum tiap penduduk Wakanda adalah pepaduan pakaian adat beragam suku di Afrika dengan beragam desain pakaian brand yang langganan jalan di runway. Cuma di film itu, bibir bolong khas Suku Mursi Ethiopia berpadu sama jas hijau bercorak urban yang trendi banget.
Bangunan yang dibuat dari efek CGI menjulang megah ke langit tanpa tinggalin kearifan lokal. Pada adegan yang nampilin pemandangan gedung Wakanda, rumah pohon tradisional khas warga pedalaman Rwanda bertengger di gedung pencakar langit berdesain futuristik.
Upaya penggabungan unsur modern, fiksi, dan budaya beragam suku di Afrika itu juga terasa dari peralatan perang produksi Wakanda. Adalah sebuah pengalaman baru untuk saksikan wilayah Afrika ditampilin begitu maju dalam bidang ekonomi dan teknologi.
Wiracarita Wakanda
Dalam sejarah kerajaan berbagai bangsa, pergantian kekuasaan kerap diiringi upaya kudeta dan perebutan kekuasaan. Dinamika politik itu yang jadi sorotan film superhero asal Afrika itu sehingga kisahnya terasa seperti epos klasik.
Intinya, sih, T’Challa harus buktiin diri dalam pertarungan, baik yang merupakan pertarungan ritual sesuai adat atau bukan, bahwa dialah pemimpin sah suku-suku penghuni Wakanda. Cewek-cewek di film ini pun tampil sebagai sosok powerful yang jadi kunci penyelesaian konflik di ceritanya.
Kostum yang bikin mupeng
Pecinta batik dan motif-motif tradisional pasti mupeng banget sama pakaian non-superhero di film “Black Panther.” Cowok-cowok Muslim pasti mupeng sama baju adat bangsawan Wakanda yang cocok dijadiin baju koko. Tersedia warna hitam dan putih.
Para cewek pastilah mupeng sama pakaian asik yang dikenakan Shuri (Letitia Wright), adik T’Challa. Bayangin pakaian penonton Coachella. Nah, pakaian doi lebih gaul, artsy, dan tradisional daripada itu.
Sementara itu, orang-orang dewasa pastilah ingin punya kain tenun seperti yang dipakai Nakia (Lupita Nyong’o) saat adegan di wilayah Suku Pegunungan Wakanda.
Asli, “Black Panther” ngasih pengalaman baru dalam nonton film Marvel meski awalnya dikira punya plot yang merupakan daur ulang film perdana “Iron-Man” (2008) dan “Ant-Man” (2015).
(sds)