Jum'at, 29 Maret 2024

Genmuda – Ketakutan terbesar cowok sejati cuma satu. Yaitu, gagal menjaga dan menghidupi orang tercinta. Fenomena itu yang Sutradara Eli Roth coba sajiin dalam paduan thriller-action-drama di film “Death Wish.”

Sayangnya, dialog soal kegagalan hidup cowok itu cuma muncul satu kali, saat pemeran utamanya bilang, “Saya sudah taat peraturan, bekerja dengan baik, dan berusaha sekuat tenaga menjaga keluarga, tapi mereka tetap direnggut dari saya!”

Cuma itu doang momen mirisnya. Sisanya berisi dar-der-dor yang keren secara visual namun terkesan dangkal makna dan logika.

Sakit hati ditinggal keluarga

MGM Pictures
Ki-ka: Jordan, Lucy, dan Paul. (Sumber: MGM Pictures)

Film yang merupakan remake “Death Wish” (1974) itu cerita soal kehidupan Paul (Bruce Willis) yang jungkir-balik karena keluarganya jadi korban kriminalitas Kota Chicago.

Saat rumahnya dirampok, anak perempuannya, Jordan (Camila Morrone) nyaris diperkosa. Dia dipukuli hingga koma. Sementara itu, istrinya, Lucy (Elisabeth Shue) terbunuh karena penembakan jarak dekat.

Dari awalnya seorang dokter andalan rumah sakit, Paul yang sakit hati karena kelambatan penyelidikan polisi berubah jadi cowok main hakim sendiri. Dia gak segan bunuh kriminal tanpa melalui proses hukum.

Aksi sepihak itu akhirnya diendus Raines (Dean Norris) dan Jackson (Kimberly Elise), dua detektif yang juga ditugasin mengusut kasus perampokan rumah yang menewaskan isteri Paul tersebut.

Thrillernya dapat, actionnya lumayan

via MGM Pictures
Alter ego Paul setelah matahari terbenam. (Sumber: MGM Pictures)

Positifnya, Eli Roth mengemas naskah soal perampokan rumah hingga timbulkan efek menegangkan ala film thriller. Ketakutan akan gelap, suara asing, dan jendela terbuka tersampaikan dengan baik.

Fenomena kekinian macam belajar bela diri Krav Maga, merekam kejadian kekerasan dengan ponsel, dan menciptakan meme berdasarkan kejadian itu pun dimunculkan secara gamblang. Menontonnya kayak melihat realita di sekitar.

Adegan menguras mental itu muncul beberapa kali, baik saat situasi gelap ataupun terang. Kadang, diiringi adegan dar-der-dor sengit yang entah mengapa gak melukai Paul sedikitpun. Mungkin Paul punya isian atau dia megang jimat.

Dramanya nope banget

via MGM Pictures
Satu-satunya adegan dramatis di film ini. (Sumber: MGM Pictures)

Dengan pisau bedah di siang hari dan pistol pembunuh di malamnya, konflik batin Paul seharusnya bisa lebih tergambarkan. Naskahnya berusaha melakukan itu, tapi gak didukung sama ekspresi Bruce Willis yang datar aja sepanjang film.

Apa akibatnya? Cerita dramanya hambar. Konflik batinnya gak terasa. Filmnya gak menunjukkan kegalauan Paul dalam memilih pisau bedah untuk menyelamatkan nyawa atau pistol untuk mencabut nyawa.

Pertikaian batin yang dialami Detektif Raines pun gak jadi sorotan. Padahal, bakalan lebih seru kalo detektif tersebut terlihat begitu galau antara menegakkan hukum setegak-tegaknya atau membantu Paul mencari keadilannya sendiri.

Adegan depresif yang seharusnya bisa menusuk perasaan cowok-cowok pun cuma muncul sekali, saat Paul meratapi kegagalannya menjaga anak-istri. Itupun muncul berkat karakter Frank (Vincent D’Onofrio) yang dibawain dengan kece.

Sayang banget. Mungkin, ini tanda kalo Bruce Willis sebaiknya “naik pangkat” jadi produser daripada melulu berakting di film. Umur emang gak bohong, sob.

Our Score

(sds)

Comments

comments

Charisma Rahmat Pamungkas
Penulis ala-ala, jurnalis muda, sekaligus content writer yang mengubah segelas susu cokelat hangat menjadi artikel.