Jum'at, 19 April 2024

Genmuda – Kawan Muda yang setahun belakangan ini jadi pelanggan setia ojek dan taksi online pasti sekarang lagi kalang kabut. Pemerintah lewat Kementerian Perhubungan udah ngelarang seluruh ojek dan taksi online buat beroperasi karena dinilai engga memenuhi ketentuan sebagai angkutan umum.

Larangan beroperasi bagi ojek dan taksi online itu dimuat dalam Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 yang udah ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, tertanggal 9 November 2015. Engga main-main, surat tersebut ditujuin buat Korps Lalu Lintas Polri, para kapolda, beserta para gubernur di seluruh Indonesia.

FYI, dasar hukum yang dipakai oleh Kemenhub adalah Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono pun bilang kalau yang namanya angkutan umum itu “harus minimal beroda tiga, berbadan hukum dan memiliki izin penyelenggaraan angkutan umum”.

Tapi, dasar hukum aja ternyata engga cukup buat ngeyakinin masyarakat soal larangan beroperasi bagi ojek dan taksi online. Banyak netizen bahkan udah nyatain ketidaksetujuan mereka di media sosial. Ya hal itu wajar aja sih sebenarnya, soalnya masih ada banyak hal yang perlu dipikirin pemerintah, kayak 5 hal berikut ini contohnya:

 

  1. Kenapa baru sekarang?

Layanan transportasi online kayak ojek dan taksi sebenarnya udah ada dari tahun 2011, tapi baru ngewabah di tahun ini. Nah, selama jangka waktu 4 tahun itu, pemerintah emangnya ke mana dan ngapain aja? Kenapa pemerintah baru terkesan ‘kalang kabut’-nya sekarang?

Iya sih ada banyak masalah yang harus diurus sama pemerintah di samping masalah layanan transportasi online. Terlepas dari itu, keputusan pelarangan yang baru muncul sekarang justru kembali nunjukin kegagalan pemerintah dalam bertindak cepat dan tepat sasaran.

  1. Gimana dengan ojek pangkalan dan kendaraan pribadi yang juga ngangkut penumpang?

Menurut Menteri Jonan, ojek pangkalan merupakan “kegiatan non-transportasi publik”, jadi beda sama ojek online yang pakai “sistem reservasi”. Ironisnya, yang udah turut ngeinspirasi munculnya ojek online engga lain dan engga bukan ya ojek pangkalan itu sendiri.

Selain itu, kalau alasannya gara-gara “beroda tiga”, berarti taksi online masih punya kesempatan buat tetap beroperasi. Soalnya, sampai sekarang masih ada banyak angkutan berplat hitam (angkutan liar atau omprengan) yang terang-terangan beroperasi ngangkut penumpang.

  1. Keamanannya engga terjamin?

Menurut Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan JA Barata, ojek dan taksi online murni dilarang karena pertimbangan keselamatan transportasi. Kendaraan roda dua engga termasuk angkutan penumpang karena dianggap paling rawan dari sisi keamanan.

Kalau pertimbangannya keamanan dan keselamatan, sebenarnya kendaraan apapun mau itu umum atau pribadi punya potensi yang sama buat terkena musibah (amit-amit!). Sejumlah penyedia layanan ojek dan taksi online pun udah berusaha ngambil langkah antisipasi dengan nyediain asuransi.

  1. Pemerintah udah bisa menuhin kebutuhan masyarakat?

https://twitter.com/jokowi/status/677695066920587264

Dengan munculnya layanan transportasi online, sebenarnya hal itu udah nunjukin kalau pemerintah lagi-lagi belum mampu buat benar-benar nyediain dan nyinkronin transportasi umum, khususnya buat masyarakat di Jakarta yang mobilitasnya tinggi. Kalau transportasi umum udah memadai, masyarakat tentu engga bakal berinisiatif buat ngasih jalan keluar kayak layanan transportasi online.

Bukan cuma itu, Presiden Joko Widodo bahkan udah negesin kalau “jangan karena aturan rakyat jadi susah”. Dengan kata lain, presiden aja engga langsung ngelarang keberadaan layanan transportasi online, tapi lebih berusaha buat ngutamain kepentingan masyarakat dulu.

  1. Apa solusinya?

Kalau menurut Menteri Jonan, layanan ojek dan taksi online masih bisa beroperasi asal mereka mau menuhin persyaratan dari Kementerian Perhubungan. Mereka harus ngehubungin dinas perhubungan setempat supaya bisa punya ijin sebagai transportasi umum (berpelat kuning) dan ikut uji kelayakan.

Sayangnya, ngurus perijinan semacam itu bakal makan waktu yang engga singkat, mengingat jumlah pengendara layanan ojek dan taksi online sekarang udah sampai puluhan ribu. Banyak kendaraan yang udah digolongin sebagai angkutan umum pun sebenarnya udah engga layak jalan dan harus diremajain.


So, di satu sisi keputusan pelarangan ojek dan taksi online memang dapat ngebantu ningkatin minat masyarakat buat kembali ngegunain angkutan umum. Tapi, di sisi lain kebutuhan masyarakat (bisa dibilang) udah engga sejalan dengan layanan angkutan umum yang ada saat ini. Ketimbang ngeluarin larangan, pemerintah mungkin sebaiknya ngekaji ulang peraturan dan kebijakan yang ada demi kepentingan bersama.

UPDATE: Dalam konferensi pers, di Jakarta, Jumat, 18 Desember 2015, “Ojek dan transportasi umum berbasis aplikasi dipersilakan tetap beroperasi sebagai solusi sampai transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak,” kata Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.(sds)

Comments

comments

Gabrielle Claresta
Eccentric daydreamer